Ia mengatakan, penanganan kampung pesisir agar terbebas dari rob juga tidak dapat dilakukan secara sepotong -potong atau parsial saja.
Tetapi dilakukan secara holistik agar kondisi permukiman pesisir kian tenggelam dapat dihindarkan.
"Jangan bangun yang berat-berat di pesisir seperti kawasan industri, kalau sudah ada ya berhentilah karena dari industri itu kebutuhan air tanah juga dikuras habis," tegasnya.
Ia menilai, konservasi mangrove menjadi solusi dari persoalan tersebut.
Konservasi mangrove di pesisir Semarang sebenarnya sudah masuk dalam Peraturan Gubernur Jateng (Pergub) Nomor 24 tahun 2019.
Beberapa poin dalam Pergub menyebutkan, Pemprov Jateng menargetkan rehabilitasi ekosistem mangrove seluas 750 hektare dari tahun 2019 hingga 2023.
Tercatat di Kota Lumpia ada 62,9 hektare lahan magrove yang hendak dilakukan konservasi.
Hanya saja, lanjut Mila, praktik konservasi mangrove di lapangan belum ada langkah sistematis yang dilakukan pemerintah.
Padahal mangrove menjadi solusi tahan lama dibandingkan bangunan infrastruktur.
"Tanggul laut bukan solusi yang bersifat temporer, harus dibarengi dengan konservasi mangrove," paparnya.
Menurutnya, konservasi mangrove perlu dilakukan secara kombinasi, artinya boleh dilakukan pembuatan tanggul laut tapi bersifat sementara.
Hal itu melihat kondisi pesisir Semarang di dua kecamatan tersebut yang sudah alami abrasi parah.
"Di belakang tanggul nantinya dilakukan konservasi mangrove secara masif sehingga ketika tanggul itu pecah sudah terbentuk sabuk mangrove," tuturnya.
Terpisah, Manajer advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, Iqbal Alma menyebut, bencana rob memang sering terjadi bahkan menjadi bencana langganan di wilayah pesisir utara Jawa Tengah.
Bencana ini menjadi bencana yang seakan diundang oleh manusia khususnya pemangku kebijakan.