OPINI

OPINI Tasroh : Merindu Kendaraan Listrik

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tasroh

oleh Tasroh, SS, MPA, MSc
Kabid Hubungan Industrial Dinnakerkop UKM Banyumas

AGENDA strategis nasional di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang belum dapat direalisasikan antara lain di bidang energi adalah investasi kendaraan listrik.

Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan pemerintahan Jokowi untuk mempersiapkan sekaligus segera melakukan aksi investasi kendaraan listrik nasional. Untuk keperluan tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan pun sudah diterbitkan.

Kini publik di tengah langkanya BBM terus merindukan kendaraan listrik segera sekaligus banyak menagih janji terkait kehadiran kendaraan listrik nasional agar benar-benar segera diwujudkan. Apalagi jika melihat keluh kesah Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa angka subsidi BBM terus membengkak dari tahu ke tahun.

Sekedar contoh, Subsidi dan dana kompensasi BBM tahun 2020 sebesar Rp 265,4 triliun, tahun 2021 sebesar 375,7 triliun dan tahun 2022 sudah mencapai Rp 501 triliun. Beban APBN semakin berat dan bukan tidak mungkin akan berdampak pada instabilitas anggaran negara secara keseluruhan (MI, 8/7/2022).

Sumur Kering

Krisis energi jauh sebelum terjadinya perang Rusia-Ukraina memang sudah terjadi. Khususnya energi berbasis fosil, salah satunya adalah krisis BBM. Hal ini secara global terjadi alamiah, dimana ketika permintaan/konsumsi BBM berbanding terbalik dengan ketersediaan BBM itu sendiri.

Sumur-sumur BBM yang dahulu deras berisi minyak mentah di perut bumi, kini mulai susut perlahan tapi pasti. Tak hanya sumur-sumber minyak di Indonesia yang sudah kering sejak hampir 20 tahun terakhir, tetapi juga terjadi di negara-negara eksportir BBM di Timur Tengah dan Eropa Timur serta Amerika Latin.

Di negara-negara pemasok utama BBM pun sumur-sumur minyak sudah mulai mengering ditambah dengan berbagai konflik perang yang tak berujung, menjadi faktor utama mengapa krisis BBM terjadi dimana-mana. Harga-harga BBM yang naik hingga mencapai 70 persen di berbagai belahan dunia, sehingga memicu inflasi yang tinggi di banyak negara maju sekalipun, membuktikan krisis energi khususnya BBM diyakini akan terus berlanjut, melanda semua negara.

Gelagat krisis BBM demikian sejatinya sudah banyak dialami berbagai negara khususnya negara-negara yang tidak lagi menerapkan sistem subsidi BBM seperti di Amerika, Jepang atau negara-negara Eropa lainnya.

Di Indonesia, konsumen BBM masih bisa tersenyum karena meski di luar sana krisis energi BBM telah berdampak terhadap kenaikan inflasi dan distabilitas energi yang akut, rakyat Indonesia masih memiliki kepemimpinan yang kuat untuk tetap memberikan subsidi energi/BBM.

Namun sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi di banyak kesempatan, pada saatnya, rakyat selaku konsumen energi/BBM dipastikan akan menghadapi situasi pelik yakni menanggung sebagian besar beban kebutuhan energi/BBM sendirian.

Potensi ‘berjuang sendirian’ para konsumen energi/BBM itu besar terjadi di Indonesia, apabila keuangan negara sudah tidak lagi mampu menopang/membayar dan mengelola sumber daya keuangan negara untuk sebesar-besarnya memberikan bantuan dan meringankan beban rakyatnya, khususnya dalam hal subsidi BBM.

Apalagi jika di tengah krisis BBM dimana-mana, produsen BBM kelak juga akan lebih mengutamakan kebutuhan di dalam negerinya sendiri-sendiri, maka dipastikan meski keuangan negara kita cukup mampu mengimpor BBM, jika barangnya (BBM) tidak /terbatas tersedia di pasar global, maka diyakini krisis BBM akan terus terjadi sampai kapan pun.

Maka memasuki era krisis energi global, khususnya BBM demikian, banyak negara yang sudah mulai mempersiapkan diri untuk melakukan investasi besar-besaran melakukan revolusi pengalihan BBM fosil ke BBM non fosil alias energi baru terbarukan.

Halaman
1234

Berita Terkini