Soal Menteri Nyalon Capres/cawapres Menuai Polemik, Bawaslu bakal Awasi Ketat

Editor: Vito
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

kolase menteri-menteri Jokowi yang dikabarkan bakal nyalon capres/cawapres

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai menteri yang ingin maju sebagai calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya dan cukup mendapat izin dari presiden, menuai polemik.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun turut angkat bicara. Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja memastikan bakal mengawasi secara ketat agar para menteri yang maju dalam pilpres 2024 tidak menggunakan fasilitas negara ketika melakukan kampanye.

Selain itu, menteri yang maju pilpres juga berpotensi menyalahgunakan wewenang, mobilisasi ASN, dan kampanye di luar jadwal dengan kemasan sosialisasi program kementerian.

Keputusan MK tersebut, menurut dia, bakal menjadi tugas tambahan bagi jajaran Bawaslu. Sehingga, ia meminta keseluruhan jajaran dapat mengawasi dengan baik.

"Siap-siap, ini akan menambah tugas jajaran Bawaslu. Awasi dengan baik, agar tidak ada yang melanggar aturan," ujarnya, dalam keterangannya, Jumat (4/11).

Bagja menuturkan, pengawasan itu untuk digarisbawahi seluruh jajaran Bawaslu, mengingat tahapan pemilu sudah dan terus berlangsung.

Untuk diketahui, Putusan MK Nomor 68/PUU-XX/2022 merupakan pengabulan permohonan Partai Garuda terhadap uji materi Pasal 170 ayat (1) UU No. 7/2017 tentang Pemilu.

Dalam pokok putusan tersebut menyebutkan menteri yang ingin maju capres atau cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya, dan cukup hanya mendapat izin dari presiden.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pun merespon terkait dengan putusan MK tersebut. Anggota KPU RI, Idham Holik menyebut, putusan tersebut harus efektif berlaku dalam penyelenggaraan tahapan, selama berhubungan dengan teknis prosedur penyelenggaraan tahapan itu sendiri.

Hal itu juga bakal KPU RI terapkan dalam merancang aturan pendaftaran bakal capres/cawapres, begitu juga aturan kampanye nantinya dalam Peraturan KPU (PKPU).

"Kami akan berkoordinasi ke pemerintah dalam merumuskan rancangan tersebut sebelum dikonsultasikan ke DPR," tuturnya.

Menurut dia, PKPU itu juga bakal menyangkut penyalahgunaan fasilitas sebagaimana kekhawatiran Bawaslu. Idham menyatakan, PKPU kampanye itu akan diterbitkan pada 2023, sebelum penetapan pasangan capres/cawapres pada 25 November 2023.

Adapun, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi turut merespon keputusan MK. "PAN setuju dengan MK, dengan syarat menteri cuti di luar tanggungan biaya oleh negara, iya kan," katanya, kepada wartawan, Jumat (4/11).

Ia pun mengusulkan menteri yang tidak fokus kerja lantaran sibuk mengurusi pencapresan untuk dicopot atau direshuffle.

"Dalam hal tertentu, apabila kinerja kementerian tidak mampu untuk meningkatkan performa, maka presiden dapat mereshuffle menteri tersebut, dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah," ucapnya.

Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, Ahmad Ali berujar, keputusan tersebut tak perlu dikomentari, melainkan dijalankan. "Tidak perlu lagi kita komentari keputusan itu. Yang perlu adalah kita jalankan," tukasnya.

Menurut dia, Nasdem tak berada pada posisi setuju atau tidak pada keputusan MK lantaran bersifat final. "(Nasdem) tidak pada posisi setuju dan tidak setuju, karena itu keputusan hukum kan, keputusan konstitusi yang kemudian itu sudah sifatnya final," ujarnya.

Terkait dengan potensi keputusan itu apakah mengganggu kinerja kabinet atau tidak, Ali menyatakan, biarkan Presiden Jokowi yang mengevaluasi.

"Nah menyangkut pembantu presiden, para menteri, presiden yang akan melakukan evaluasi terhadap kinerja daripada kabinetnya," tandasnya.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyayangkan keputusan MK memperbolehkan menteri tak harus mundur dari jabatan saat mencalonkan diri sebagai presiden.

Menurut dia, keputusan tersebut bakal memunculkan besarnya peluang penyimpangan kekuasaan. Awalnya, ia menyebut kedudukan seorang presiden dalam sistem presidensial seperti di Indonesia sangat kuat.

"Dia, kepala negara, kepala pemerintahan," ucapnya, dalam diskusi bertajuk "Menteri Nyapres Tak Perlu Mundur, Pantaskah?" yang digelar virtual, Jumat (4/11).

Mardani menjelaskan, dalam sistem presidensial ada banyak sekali otoritas yang diberikan kepada seorang presiden.

"Di kepala negara, dia yang menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata, dia mengangkat duta konsul itu di kepala negara. Bahkan, dia mengangkat para menteri," terangnya.

Dengan demikian, ia berujar, besar kekuasaan yang dipegang seorang presiden, maka peluang penyimpangan sangat besar.

"Nah dengan demikian besar power tends to corrupt-nya, peluang menyimpangnya, kalau cuma berbasis aturan sangat besar," bebernya. (Tribunnews/Mario Christian Sumampow/Fersianus Waku/Reza Deni)

Berita Terkini