“Tolonglah aku, Kakak,” rengek Aria Tebing, “Jika pun aku mengetahui kelemahan Pangeran Serunting,
aku tidak akan membunuhhnya, sedangkan ia pasti akan membunuhku. Apakah Kakak rela melihat aku tewas di tangan suami Kakak sendiri?”
Sitti kembali terdiam. Ia tersentuh dengan perkataan adiknya.
“Baiklah, Dik. Aku akan memberitahukannya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak membunuhnya,” ujar Sitti.
“Baik, aku janji. Aku tidak akan membunuhnya” kata Aria Tebing.
Akhirnya, Sitti pun membocorkan rahasia kelamahan suaminya kepada Aria Tebing.
“Rahasia kesaktian suamiku ada pada rumput ilalang yang selalu bergetar walaupun tidak tertiup angin,” kata Sitti,
“Jika kamu menombak rumput ilalang itu, kekuatannya langsung lenyap seketika.”
“Baik, Kak, Terima kasih atas bantuannya/’ ucap Aria Tebing.
Pada hari yang telah ditentukan, Pangeran Serunting dan Aria Tebing pergi ke sebuah padang ilalang.
Setiba di sana, pertarungan pun dimulai.
Baru saja pertarungan itu dimulai, Aria Tebing sudah mulai terdesak oleh serangan-serangan kakak iparnya.
Hal itu menunjukkan bahwa betapa tingginya kesaktian Pangeran Serunting.(26)
Meskipun demikian, Aria Tebing tidak gentar karena sudah mengetahui kelemahan sang pangeran,
Pada saat yang tepat, ia segera menombak ilalang yang bergetar di padang itu,
Seketika itu pula, sang Pangeran jatuh tersungkur ke tanah dengan keadaaan luka parah.
Merasa dikhianati oleh istrinya, Pangeran Serunting pergi meninggalkan kampung halamannya menuju ke Gunung Siguntang untuk bertapa.
Setiba di sana, tiba-tiba ia mendengar suara gaib dari Sang Hyang Mahameru.
“Hai, anak muda. Maukah engkau mendapatkan kekuatan gaib?” tanya suara itu,
“Saya sangat mau, wahai Sang Hyang Mahameru,' jawab Pangeran Serunting.
“Baiklah, tapi ada syaratnya yaitu engkau harus bertapa di bahwa pohon bambu hingga daun bambu itu menutupi seluruh tubuhmu’ kata Sang Hyang Mahameru.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Serunting segera menyanggupi persyaratan itu.
Setelah itu, ia langsung memulai tapanya dengan penuh konsentrasi.
Segala bentuk kehidupan dunia telah lenyap dalam pikiran dan ingatannya.
Rasa lapar dan dahaga pun tidak dirasakannya lagi.
Semakin lama ia semakin larut dalam tapanya sehingga tak terasa sudah 2 tahun ia bertapa.
Saat itu pula, seluruh tubuhnya telah tertutupi daun-daun bambu yang telah berguguran.
Sesuai dengan janjinya, Sang Hyang Mahameru kembali mendatangi Pangeran Serunting.
“Wahai, anak muda. Karena engkau telah berhasil melaksanakan syarat itu dengan baik,
maka kini saatnya aku menurunkan ilmu kesaktian kepadamu,” kata Sang Hyang Mahameru.
“Kesaktian apakah itu, wahai Sang Hyang Mahameru?” tanya Pangeran itu penasaran,
“Apa pun yang engkau ucapkan akan berubah menjadi kutukan,” jawab Sang Hyang Mahameru.
Dengan perasaan gembira, Pangeran Serunting segera pulang ke kampung asalnya.
Dalam perjalanan pulang, terbersit di pikirannya untuk menjajal kesaktian yang baru diperolehnya itu.
Saat menjumpai hamparan pohon tebu di tepi danau, ia berkata: “Jadilah batu, wahai pohon tebu!” serunya.
Berkat kesaktian lidahnya, hamparan pohon tebu itu langsung berubah menjadi batu.
Oleh karena itulah, Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah karena kesaktian lidahhnya itu.
Selanjutnya, Si Pahit Lidah mendapati sebuah bukit yang gersang dan tandus bernama Bukit Serut.
Ia kemudian mengubah bukit gersang itu menjadi hutan belantara.
Ketika tiba di suatu desa. Si Pahit Lidah memenuhi keinginan sepasang suami istri yang sudah tua untuk memiliki anak.
Dengan kesaktian lidahnya, ia mengubah sehelai rambut milik si nenek menjadi seorang bayi laki-laki.(33)
Begitulah seterusnya, di sisa perjalanannya menuju Sumidang, Si Pahit Lidah terus belajar berbuat baik kepada sesama makhluk hidup.
Setiba di kampung halamannya, rasa dendamnya kepada Aria Tebing pun hilang sudah seiring dengan perbuatan baiknya di sepanjang perjalanan.
Ia pun meminta maaf kepada adik iparnya itu, juga kepada istri tercintanya. (kemendikbud.go.id)