Opini Ditulis Oleh Prof DR Anton A Setyawan SE, MSi (Guru Besar Ilmu Manajemen Fak Ekonomi dan Bisnis UMS)
TRIBUNJATENG.COM - DESEMBER 2022 sudah hampir habis. Banyak lembaga yang menyusun laporan outlook perekonomian sebagai panduan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan maupun sektor swasta untuk merencanakan bisnis.
Sebagian besar gambaran outlook perekonomian tahun 2023 menunjukkan ketidakpastian dan pesimisme. Seperti kita ketahui Amerika Serikat sudah memasuki resesi dengan pertumbuhan ekonomi negatif selama dua periode berturut-turut. Eropa juga mengalami krisis ekonomi dan bahkan mulai berimbas pada ketidakstabilan politik. Kita bisa melihat pergantian pemimpin di beberapa negara Uni Eropa seperti Inggris dan Italia yang dianggap gagal menekan laju kenaikan harga energi.
Beberapa lembaga sudah mengeluarkan laporan outlook perekonomian tahun 2023 dan sebagian besar menunjukkan kondisi pesimis. International Monetary Fund (IMF) dalam publikasi outlook 2023 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022 hanya mencapai 3,2 persen dari sebelumnya 6 persen pada tahun 2021. Lembaga tersebut memperkirakan pada tahun 2023 perekonomian global hanya tumbuh 2,7 persen. Lembaga OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) membuat outlook yang lebih pesimis dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi global sebesar 2,2 persen pada tahun 2023.
IMF juga memperkirakan bahwa inflasi global pada tahun 2023 mencapai 6,5 persen, yang berarti sedikit mengalami penurunan dari 8,8 persen di tahun 2022 ini. OECD memperkirakan inflasi global pada tahun 2023 mencapai 6,6 persen. Hal ini menunjukkan ada sedikit optimisme bahwa inflasi pada tahun 2023 berada di level moderat.
Kondisi di Eropa dan AS yang memasuki krisis dan resesi disebabkan karena inflasi. Inflasi dengan rata-rata 10 persen disumbang oleh kenaikan harga gas dan pangan. Perang antara Rusia dan Kroasi berdampak pada kenaikan harga gas karena Uni Eropa sepakat untuk memberlakukan sanksi ekonomi pada Eropa, padahal negara tersebut merupakan pemasok utama kebutuhan gas di benua biru tersebut.
Bagaimana dengan kondisi ekonomi Indonesia tahun 2023? Tahun 2022 yang ditetapkan pemerintah sebagai tahun kebangkitan ekonomi menghasilkan indikator makro ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,1 persen.
Badan moneter dunia IMF bahkan menyatakan perekonomian Indonesia menjadi sebuah cahaya dalam kegelapan perekonomian global tahun 2022. Namun demikian, Asian Development Bank (ADB), IMF dan OECD menyusun outlook perekonomian yang menunjukkan adanya pelambatan ekonomi di Indonesia tahun 2023 nanti. Pada tahun 2023 perekonomian Indonesia diperkirakan hanya tumbuh antara 4,7 sampai 4,8 persen, yang berarti mengalami penurunan dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang mencapai 5,1 persen. OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali ke level 5,1 persen pada tahun 2024.
Kombinasi Kebijakan
Pelambatan ekonomi yang mungkin terjadi di Indonesia sudah seharusnya diantisipasi pemerintah dengan kombinasi kebijakan yang tepat. Secara umum, tahun 2023 pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif hanya mengalami pelambatan untuk itu diperlukan kombinasi kebijakan ekonomi yang tepat. Hal pertama yang perlu diantisipasi adalah penurunan ekspor.
Permintaan global diperkirakan mengalami penurunan karena pelambatan ekonomi dunia dan hal ini pasti berimbas pada penurunan ekspor Indonesia. Indonesia diuntungkan dengan kontribusi ekspor terhadap PDB yang hanya 25 persen, sehingga penurunan ekspor dampaknya bisa diminimalisir. Pada sisi lain, harga batubara yang masih cenderung tinggi karena krisis energi global menguntungkan Indonesia sebagai salah satu pemasok batubara utama di dunia.
Dampak yang harus diwaspadai dari penurunan ekspor adalah penurunan kapasitas produksi industri berorientasi ekspor. Industri manufaktur terutama tekstil sudah merasakan dampak berkurangnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor seperti AS dan Eropa. Banyak perusahaan tekstil yang sudah mulai melakukan penyesuaian jumlah karyawan dengan melakukan PHK atau mengurangi jam kerja mereka. Industri tekstil adalah salah satu dari sekian industry yang bersifat padat karya, jika ada gelombang PHK pada industri ini akibatnya jumlah pengangguran terbuka bisa mengalami peningkatan.
Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan pengangguran pada tahun 2023. Menyiapkan skema kebijakan untuk mengurangi biaya produksi industri berorientasi ekspor, contohnya, penundaan pemberlakuan UMK tahun 2023. Pemerintah juga perlu memperkuat program padat karya dan kartu Pra Kerja dengan memperluas penerima manfaat tidak hanya bagi mereka yang belum bekerja, namun juga bagi para pekerja yang mengalami PHK.
Inflasi di Indonesia tahun 2022 menurut Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia bisa dikendalikan pada kisaran 5,5 persen. Ancaman kenaikan harga energi dan pangan pada tahun 2023 masih ada meskipun besaran kenaikannya berada di level moderat.
Inflasi di Indonesia tahun 2023 disumbangkan oleh kenaikan harga energi dan komoditas pangan. Fluktuasi harga energi diantisipasi dengan diversifikasi sumber energi oleh pemerintah. Pemberian subsidi untuk kendaraan listrik (electric vehicle) merupakan kebijakan tepat untuk mempercepat proses diversifikasi energi sehingga mengurangi ketergantungan terhadap BBM.
Fluktuasi harga komoditas pangan perlu diatasi dengan dua kebijakan secara simultan. Dalam jangka pendek, mengelola rantai pasok dengan penyediaan data permintaan dan persediaan komoditas pangan adalah sebuah keharusan.