TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Selain menjadi ikon Kota Semarang, Klenteng Sam Poo menyimpan berbagai peristiwa sejarah di masa silam.
Di abad ke-18, klenteng yang terletak di kaki bukit Simongan dan tepi Kali Garang itu tak semegah seperti sekarang.
Mengutip karya De Graaf, Muslim Cina di Jawa Abad 15 dan 16. Klenteng Sam Poo Kong awalnya hanya bangunan sederhana serta terdapat masjid.
Lokasi tersebut banyak diziarahi peranakan Tionghoa maupun muslim Jawa kala itu.
Baca juga: Kompol D dan Nur Wanita di Mobil Audi A6 Disebut Menikah Siri, Apa Sanksi Polisi Berpoligami?
Baca juga: 7 Langkah Cepat Ketahui Arah Kiblat Sholat! Cukup Pakai HP Tanpa Aplikasi Apapun
Setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, banyak keturunan Tionghoa di Semarang datang untuk bersembahyang.
Bahkan M Ikshan Tanggok dalam Jurnal Al-Turas menyebutkan, setiap malam Jumat kliwon, masyarakat Jawa dan muslim di sekitar Semarang dan daerah lain juga datang ke Kelenteng Sam Poo Kong.
Selain masjid, di sekitar klenteng terdapat gua yang berisi patung Cheng Ho.
Gua tersebut pernah runtuh dan memakan korban jiwa.
Peristiwa itu ditulis oleh Kong Yuanzhi dalam Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara.
Di mana Pada 1704, gua yang sering disebut Gua Batu atau Gedong Batoe runtuh akibat angin ribut dan hujan lebat.
Peristiwa itu menyebabkan sepasang pengantin tewas tertimbun ketika sedang melakukan pemujaan di dalam gua.
Selang 20 tahun tepatnya pada 1724, gua tersebut digali dan dipulihkan seperti semula.
Catatan Liem Thian Joe dalam Riwayat Semarang, pada tahun yang sama diadakan upacara sembayang besar-besaran oleh warga Tionghoa di Semarang.
Sembahyangan itu sebagai bentuk syukur, lantaran masyarakat Tionghoa di Semarang tidak mendapat gangguan apa pun dan usaha mereka bertambah maju.
Tak hanya sebagai wujud syukur, dalam pelaksanaan upacara besar itu masyarakat juga mengumpulkan dana untuk memperbaiki Klenteng Sam Poo Kong.
Perbaikan dilakukan di depan gua dengan mendirikan tempat istirahat dan bagi masyarakat usai sembahyang.
Kondisi Klenteng Sam Poo Kong pada awal abad 20 tepatnya 1904, nampak semakin elok.
Beberapa titik seperti tempat sembahyang sudah berpagar dan memiliki atap.
Hal itu terdokumentasikan dalam kartu pos bergambar yang dikeluarkan oleh Van Dorp and Co Semarang-Soerabaja 1904.
Sementara sebelum kemerdekaan pada 1920, gerbang Klenteng Sam Poo Kong hingga tempat untuk jangkar juru mudi dibenahi lebih baik.
Kondisi tersebut termuat dalam koleksi foto lawas KTLV Leiden berjudul Gedong Batoe Temples te Semarang dan Anker Van Djoeroemoedi Dampoe-Awang, Gedong Batoe te Semarang 1920.
Kini, Klenteng Sam Poo Kong berubah pesat tak lagi sama seperti dulu. Bangunan kokoh dan pagar beton mengelilingi lokasi Klenteng Sam Poo Kong.
Bekas gua juga masih dipertahankan oleh pengurus Klenteng Sam Poo Kong, bahkan altar yang ada nampak megah dengan pilar-pilar kuat.
Menurut Ketua Yayasan Klenteng Sam Poo Kong Mulyadi, tak hanya gua, sumber air yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa di abad 18 hingga kini juga masih terjaga.
Ia juga mengakui ada makam muslim hingga masjid di Klenteng Sam Poo Kong.
"Ada tiga bangunan utama di Klenteng Sam Poo, dua bangunan dijaga oleh orang Tionghoa dan satu bangunan dijaga oleh juru kunci," tuturnya.
Juru kunci yang menjaga makam juru mudi sebagai simbol adanya makam mulsim di Klenteng Sam Poo Kong.
Hal itu lantaran juru mudi yang dimakamkan di Klenteng Sam Poo Kong dipercaya sebagai penganut musim dan kejawen.
Hal serupa juga diberlakukan pemerintah Tiongkok di makam Cheng Ho yang ada di Niushoushan, Kota Nanjing, Provinsi Jiangsu.
"Cheng Ho dimakamkan secara muslim namun di komplek pemakaman Budha terbesar di Tiongkok. Hal tersebut memang unik, namun memang begitu adanya," ujarnya.
Mulyadi menerangkan, Cheng Ho adalah muslim namun ia mengabdi pada raja yang menganut Kong Hu Chu.
Setelah menyelesaikan misi kerjaan dan meninggal ia dikembalikan ke keluarganya yang menganut muslim.
Pihak keluarga akhirnya minta pemakaman Cheng Ho dilakukan secara muslim.
"Karena jasanya, kerjaan menuruti permintaan keluarga. Alhasil Cheng Ho dimakamkan secara muslim di di Niushoushan. Dari fakta tersebut toleransi sudah berjalan secara baik di masa itu," imbuhnya. (*)