MMS mengisahkan sejarah masa lalu candi. Sayang rencana ini ditolak Unesco karena dikhawatirkan bisa mengganggu kelestarian mahakarya itu sebagai warisan budaya.
Kini, kata dia, salah satu pengembangan wisata yang bisa ditawarkan adalah munculnya Balkondes sebagai ikon yang bisa mem-branding wisata yang berbasis kearifan lokal, seperti susur sungai, menanam padi, menderes kelapa, dan tilik industri madu.
Sedangkan Amir Machmud NS mengungkapkan, PWI Jateng menyambut baik agenda ini sebagai langkah menyokong pengembangan pariwisata.
Sebenarnya, lanjut dia, PWI sejak 2019 sudah melabelkan pariwisata sebagai produksi dalam Hari Pers Nasional (HPN). Saat itu bersinergi dengan Pemkab Magelang mengadakan kegiatan One Day Tour sekitar wisata kawasan candi.
Dan kini, bersama USM, pihaknya siap untuk turut ‘memprovokasi’ dalam pengembangan wisata di Magelang.
Kades Karangrejo Hely Rofikun mengakui, desanya seluas 174 hektare dan berjarak 3 km dari Candi Borobudur bersyukur memiliki topografi yang mendukung wisata alam.
Makanya, bersama masyarakat setempat membangun wisata unggulan, diantaranya Punthuk Setumbu, yaitu tempat menyaksikan matahari terbit diantara Gunung Merapi dan Merbabu dan pancaran pertama mengenai candi.
‘’Maka sama teman-teman, penggiat pariwisata membuat Nirwana Sunrise Punthuk Setumbu yang mampu menyedot banyak wisatawan.
Kami sepakat dengan Pak Dharto, bahwa dulu orang ke Borobudur hanya mampir kencing dan meninggalkan sampah.
Tapi sekarang, setelah ada komunikasi antara pemkab, Taman Wisata Candi Borobudur, desa, penggiat wisata, kini terjadi hiruk pikuk wisatawan yang menjelajahi desa-desa.
Kami berharap kolaborasi terus diintesifkan bersama perguruan tinggi dan media,’’ tambahnya.(*)