Opini Ditulis Oleh DR Muhammad Junaidi SHI, MH (Wakil Rektor III Universitas Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - “Kita tidak mau anak bangsa kita bercita-cita menjadi koruptor karena lebih menjanjikan dengan hasil korupsinya, dibandingkan menjadi orang Jujur”.
Sebagai negara hukum, maka sudah selayaknya hukum di Indonesia dijadikan parameter negara maju dan bekembang. Namun, indikator negara hukum salah satunya dalam hal penegakan tindak pidana korupsi tidaklah begitu maksimal saat ini dalam upaya menghilangkan korupsi di Indonesia.
Lahirnya Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) masih dianggap oleh sebagian kalangan belumlah memberikan pengaruh secara berkelanjutan, buktinya korupsi di Indonesia belum menurun. Bahkan korupsi memiliki pola semakin berkembang secara sistematis dan terstruktur mengungguli kewenangan-kewenangan yang dimiliki lembaga rasuah yang dibentuk pasca-reformasi.
Bangun Sistem Hukum
Oleh karenanya pemeberantasan korupsi haruslah ditekankan dalam rangka membangun sistem hukum. Bukan lagi hanya sekedar menggantungkan pada lembaga negara seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Bahkan lembaga-lembaga tersebut beberapa kali bersitegang soal kewenangan dalam pemberantasan korupsi.
Pembangunan system pemberantasan korupsi yang dimaksud adalah pembangunan aturan yang jelas dan tegas dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi. Sistem yang dinaksud tentunya tidak hanya mengatur soal penegak hukum dalam memerankan perannya, akan tetapi bagaimana arah kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi dibuat secara tepat dan strategis dalam upaya menjawab persoalan.
Jalan di Tempat
Jika kita mengealuasi pada tahun 2022 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia ada pada angka 34 di peringkat 110 dari dari 180 negara yang dilakukan survei. Angka ini tidak jauh beda dengan tahun 2014, yang artinya pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat selama 2014-2022.
Kondisi pemberantasan korupsi tersebut di atas, tentunya sangatlah memprihatinkan bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Apalagi Indonesia telah mencanangkan generasi emas 2045 dimana bonus demografi usia produktif sebanyak 70 persen dari keseluruhan total penduduk indonesia. Maka sangatlah diharapkan dengan adanya generasi emas di tahun 2045 tersebut, tidak mempengaruhi perilaku koruptif dalam cita-cita dan arah berkembangnya anak bangsa.
Tentunya kita tidak mau anak-anak bangsa kita bercita-cita menjadi koruptor karena lebih menjanjikan dengan hasil korupsinya, dibandingkan menjadi orang Jujur. Maka upaya pemberantasan korupsi haruslah dilakukan secara maju dan sistematis.
Upaya pemberantasan korupsi secara sistematis dan berkelanjutan demikian tentunya dilakukan melalui kebijakan hukum yang merupakan pembangunan sistem hukum. Upaya ini salah satunya dilakukan melalui pengesahan rancangan Undang-Undang atau yang lebih dikenal dengan sebutan RUU Perampasan Aset.
RUU Perampasan Aset
Dilema adanya potensi cita-cita anak bangsa lebih ingin menjadi koruptor, mengingat aset narapidana korupsi seringkali tidak dirampas bahkan terkesan dibiarkan untuk dimiliki pasca tindakan korupsinya terbukti secara sah dan diputus dipengadilan. Bahkan dalam hitung-hitungan awam, dapat dinilai kalau dihitung uang korupsi lebih banyak didapat dibandingkan harus menunggu pensiun sebagai aparatur sipil negara.
Oleh karenanya, gagasan yang ada dalam RUU Perampasan Aset menjadi penting dalam rangka menghentikan berkembangnya korupsi. Selain menghentikan berkembangnya korupsi bahkan juga mampu menghapus cita-cita penerus bangsa kita menjadi koruptor.