Lulus Kuliah, Tapi Tak Siap Kerja: Ada Apa dengan Pendidikan Tinggi Kita?
Oleh: Silvia Vinda Ayulin
Mahasiswa D-3 Akuntansi Politeknik Harapan Bersama (Poltek Harber)
TRIBUNJATENG.COM - Jutaan mahasiswa lulus dari perguruan tinggi setiap tahunnya, namun dunia kerja justru dipenuhi dengan keluhan mengenai lulusan yang minim kompetensi. Mengapa hal ini terjadi? Apakah Perguruan Tinggi benar-benar menyiapkan lulusan siap kerja atau hanya menjadi pabrik gelar tanpa arah?
Bekerja setelah lulus dari perguruan tinggi merupakan keinginan hampir dari setiap lulusan. Namun, pada kenyataanya banyak lulusan perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik per bulan Agustus tahun 2024, jumlah pengangguran dengan gelar sarjana mencapai 842.378 orang. Jumlah sebesar ini menjadi ironi tersendiri, karena pandangan orang terhadap orang yang bergelar sarjana, pasti akan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, angka-angka ini menjadi antrean panjang dalam mencari kerja.
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah kurikulum pendidikan tinggi yang belum sejalan dengan kebutuhan dunia kerja. Perguruan Tinggi memberikan fokus yang lebih besar terhadap pemberian teori yang berbasis hafalan tanpa adanya pemahaman dari
mahasiswa. Mahasiswa dituntut untuk mendapatkan nilai IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi, seolah-olah IPK adalah satu-satunya jalan untuk meraih keberhasilan dalam mendapatkan pekerjaan. Padahal realita yang terjadi capaian akademik bukan satu-satunya aspek yang mempengaruhi keberhasilan dan tidak menjadi jaminan utama seorang lulusan diterima dalam suatu pekerjaan.
Hal ini selaras dengan hasil penelitian dari Oxford University yang menyatakan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan dari 20 persen hardskill dan 80 % softskill. Data ini mengisyaratkan bahwa individu dengan kemampuan softskill yang lebih baik cenderung lebih mudah berkembang dalam dunia pekerjaan, dan tentunya softskill juga harus dikolaborasikan dengan hardskill yang dimiliki mahasiswa untuk menghasilkan kinerja yang optimal.
Menurut Wikipedia, softskill merupakan istilah sosiologis yang merujuk pada sekumpulan karakteristik kepribadian, daya tarik sosial, kemampuan berbahasa, kebiasaan pribadi, kepekaan/kepedulian, serta optimis. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa softskill memiliki peranan yang lebih dominan dalam menentukan kesuksesan seseorang. Sementara, dalam perguruan tinggi aspek soft skill seringkali dikesampingkan.
Mahasiswa dengan kemampuan soft skill yang baik cenderung lebih siap dalam menghadapi dunia kerja, softskill yang dimaksud dapat berupa keterampilan dalam hal manajemen waktu, kepemimpinan (leadership) dan memiliki tingkat kepercayaan diri (self confidence). Namun, hal ini kurang menjadi perhatian perguruan tinggi, padahal soft skill sangat dibutuhkan bagi lulusan ketika mencari kerja, karena perusahaan cenderung memilih rekruter yang dapat menyampaikan ide dan gagasan, mampu bekerja sama dengan tim, dan dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja.
Oleh karena itu, perguruan tinggi harus melakukan upaya untuk meningkatkan softskill mahasiswanya dengan mulai mengintegrasikan soft skill ke dalam kurikulum formal melalui mata kuliah yang khusus dirancang untuk menunjang softskill mahasiswa. Perguruan tinggi juga dapat menerapkan pelatihan dan workshop yang berisi materi softskill yang dilakukan secara berkala dan terarah. Bukan hanya itu, upaya meningkatkan kemampuan softskill juga dapat dibantu dengan melaksanakan program mentoring secara langsung oleh dosen atau alumni mengenai pengembangan diri dan etika profesional, kegiatan mentoring akan membantu mahasiswa menetapkan tujuan, dan meningkatkan rasa percaya diri.
Perguruan tinggi yang masih mempertahankan sistem pendidikan yang tidak responsif terhadap kebutuhan industri, berisiko menghasilkan lulusan yang tidak dapat terserap sepenuhnya. Hal ini tidak terjadi semata-mata karena lulusan tidak cerdas, melainkan sistem pendidikan yang diterapkan perguruan tinggi belum dapat menjawab kebutuhan industri. Oleh karena itu, reformasi sistem perguruan tinggi sangat mendesak. perguruan tinggi harus berani dalam melakukan perubahan pada sistem pendidikan dengan mengutamakan mempersiapkan mahasiswa untuk berada di dunia kerja. (*)