Kendati korban masuk dalam kelompok itu, korban tidak berkenan.
Alasannya, korban memang tak suka kekerasan dan lebih memilih ekstrakulikuler lainnya.
"Ternyata di dalam sekolah kedinasan masih ada praktik kekerasan. Bahkan, dinormalisasi," ucap Radit.
Korban bisa masuk ke sekolah tersebut lantaran ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Orangtua korban mendukungnya masuk sekolah kedinasan lantaran merasa yakin praktik kekerasan antar taruna di sekolah tersebut sudah hilang.
Apalagi orangtua korban sempat diyakinkan oleh pihak sekolah bahwa praktik senior hajar junior sudah hilang.
Merasa diyakinkan, akhirnya korban masuk ke sekolah tersebut sebagai angkatan 59.
"Korban warga Jakarta, ia masuk PIP tahun 2022," imbuhnya.
Korban mengalami kekerasan setidaknya empat kali.
Kekerasan pertama berupa pemukulan bertubi-tubi menggunakan tangan terbuka di kepala dari arah atas, depan, kiri dan kanan.
Pukulan mengenai di kepala dan tendangan di tulang kering oleh
Pembina dan Pengasuh Taruna (Binsuhtar) pada Minggu, 9 Oktober 2022.
Penganiyaan kedua, korban mengalami pemukulan di kepala bagian belakang sebanyak lebih dari 10 kali oleh seniornya angkatan 56, Minggu sore, 23 Oktober 2022.
Berikutnya, korban mengalami penganiayaan fisik, dipukul sekitar 40 kali di bagian perut, termasuk ulu hati pada Rabu malam, 2 November 2022
Terakhir tadi malam Selasa (13/6/2023) , korban alami kekerasan dengan ditendang oleh seniornya.
"Secara fisik memang tidak begitu parah, tetapi hal itu mengingatkan rasa trauma korban. Hal itu terbukti dari hasil assesment psikolog LPSK yang menyatakan korban alami trauma," bebernya.