Pemilu 2024

Kelebihan dan Kekurangan Proporsional Terbuka, Caleg Lebih Dekat ke Pemilih tapi Rawan Politik Uang

Editor: muslimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November 2022. Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu.

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Berikut kelebihan dan kekurangan sistem pemilu proporsiona terbuka.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan gugatan untuk mengganti sistem pemilu legislatif sebagaimana dimohonkan dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022.

Dengan ini, pemilu legislatif yang diterapkan di Indonesia, sejauh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak diubah, tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti yang telah diberlakukan sejak 2004.

"Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh hakim konstitusi lain (minus Wahiduddin Adams), dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (15/6/2023).

Baca juga: Perbedaan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup yang Akan Diputuskan MK Hari Ini

Baca juga: Kasus Penganiyaan PIP Semarang, Polda Jateng Ungkap Permintaan Pihak Korban

Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkapkan sejumlah hal yang menjadi keunggulan sistem pemilihan umum (pemilu) dengan proporsional terbuka.

Hal itu disampaikan Hakim MK Suhartoyo dalam pertimbangan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan pada 14 November 2022.

Gugatan yang teregistrasi dengan Nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168 ayat (2) tentang Sistem Pemilu.

“Bahwa berkaitan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka, terdapat beberapa kelebihan, antara lain, sistem ini mendorong kandidat untuk bersaing dalam memperoleh suara,” kata Hakim Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Dalam sistem proporsional terbuka ini, kata Suhartoyo, kandidat atau calon anggota legislatif harus berusaha memperoleh suara sebanyak mungkin agar dapat memperoleh kursi di lembaga perwakilan.

Hal ini mendorong persaingan yang sehat antara kandidat dan meningkalkan kualitas kampanye serta program kerja mereka.

“Sistem ini juga memungkinkan adanya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih,” papar Suhartoyo.

Dalam sistem ini, Mahkamah berpandangan, pemilih juga memiliki kebebasan langsung untuk memilih calon anggota legislatif yang mereka anggap paling mewakili kepentingan dan aspirasi mereka.

“Hal ini menciptakan hubungan yang lebih dekat antara pemilh dengan wakil yang terpilih, karena pemilih memilki peran langsung dalam menentukan siapa yang akan mewakili mereka di Mahkamah Konstitusi lembaga perwakilan,” kata Suhartoyo.

Selain itu, sistem proporsional dengan daftar terbuka memungkinkan pemilih untuk menentukan calonnya secara langsung.

Pemilih juga memilki kebebasan untuk memilih calon dari partai politik tertentu tanpa terikat pada urutan daffar calon yang telah dietapkan oleh partai tersebut.

“Hal ini memberikan fleksibilitas kepada pemilih untuk memilh calon yang mereka anggap paling kompeten atau sesuai dengan preferensi mereka, tanpa harus terikat pada daftar calon yang sudah ditentukan,” kata Suhartoyo.

“Kelebihan lainnya adalah pemilih dapat berpartisipasi langsung dalam mengawasi wakilnya di lembaga perwakilan,” ucapnya lagi.

Dalam sistem ini, pemilih pun memiiki kesempatan untuk melibatkan diri dalam pengawasan terhadap tindakan dan keputusan yang diambil oleh wakil yang mereka pilih.

Dengan demikian, meningkatkan akuntabiltas dan transparansi dalam sistem politik, termasuk meningkatkan partisipasi pemlih.

Kekurangan sistem terbuka

Kendati demikian, sistem proporsional terbuka juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan, misalnya, sistem ini memberikan peluang terjadinya politik uang (money politics).

Hakim MK menyebutkan, kandidat yang memilki sumber daya finansial yang besar dapat memanfaatkannya untuk memengaruhi pemilih.

Selain itu, sistem proporsional dengan daftar terbuka mengharuskan modal politik yang besar untuk proses pencalonan.

Dalam sistem ini, kandidat perlu mengeluarkan biaya yang signifikan untuk mencalonkan diri dan melakukan kampanye politik. Mereka harus memikirkan biaya iklan, promosi, transportasi, dan logistik lainnya.

“Keberadaan modal politik yang besar ini dapat menjadi hambatan bagi kandidat yang tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup, sehingga merugikan kesempatan kandidat dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah untuk berpartisipasi secara adil dalam proses politik,” papar Suhartoyo.

Kelemahan berikutnya adalah sistem ini selain dapat mereduksi peran partai politik, juga terbuka kemungkinan adanya jarak antara anggota calon legislatif dan partai politik yang mengajukannya sebagai calon.

Kelemahan lainnya adalah pendidikan politik oleh partai politik yang tidak optimal, di mana partai politik cenderung memilki peran yang leih rendah dalam memberkan pendidikan politik kepada pemilih.

“Akibatnya, partai politik menjadi kurang fokus dalam memberikan informasi dan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu politik kepada pemilih,” jelas Suhartoyo. (Kompas.com)

Berita Terkini