Berita Jateng

Konsistensi Warga Sruni Boyolali Hampir Satu Dekade Manfaatkan Biogas

Penulis: iwan Arifianto
Editor: rival al manaf
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang ibu rumah tangga sedang memasak telur menggunakan kompor bersumber dari biogas. Sumber energi alternatif dari kotoran sap Iwan Arifianto.i tersebut mampu menghemat pengeluaran lantaran tak perlu membeli gas elpiji, di Desa Sruni, Musuk, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (11/8/2023).

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Warga di Desa Sruni, Musuk, Kabupaten Boyolali hampir satu dasawarsa ini konsisten memanfaatkan biogas untuk pemenuhan energi dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka telah menggunakan biogas dari kotoran sapi sejak tahun 2014. 

Hasilnya, warga di desa Sruni mampu penuhi kebutuhan gas rumah tangganya. 

Manfaat lainnya, persoalan limbah kotoran sapi ikut terselesaikan.

"Kelompok kami sering diskusi memikirkan bagaimana mengatasi kotoran sapi yang menjadi persoalan, maka tercetuslah biogas," papar Ketua Kelompok Agni mandiri Sruni, Musuk, Kabupaten Boyolali, Setiyo (51) kepada Tribun Jateng, Jumat (11/8/2023).

Pihaknya menginisiasi pembuatan biogas berawal dari keresahan limbah kotoran sapi di lingkungan sekitar kampung. 

Sebab, setiap sapi mengeluarkan kotoran sekira 25 kilogram perhari sedangkan jumlah sapi di desa tersebut mencapai hingga 3.107 ekor.

"Awal soal kotoran yang menimbulkan konflik antar tetangga. Kami bilang ke peternak punya sapi tapi tidak punya biogas itu kegiatan yang rugi," terangnya.

Ia menyebut, kunci keberlanjutan biogas di desanya yang hampir satu dekade yakni melibatkan langsung masyarakat atau pemakai biogas mulai dari merancang, melakukan, hingga mengelolanya.

"Kami pakai sistem swakelola supaya nanti ada keterlibatan yang memunculkan rasa rasa handarbeni. Dari rasa  memiliki nantinya muncul kemauan merawat melestarikan dan menularkan ke peternak lain," jelasnya.

Hanya saja, untuk menularkan pembangunan biogas perlu ada pelopor atau penggerak yang mau mengawali.

Ia menilai, sistem biogas dari segi kontruksi mudah diadopsi. Artinya, siapapun bisa melakukan pembuatan biogas tinggal siapa yang mau memulainya.

"Masyarakat itu butuhnya contoh langsung. Mereka tentu akan meniru dan mengikuti ketika ada yang berhasil," tuturnya.

Meskipun terhitung sukses kembangkan biogas di kampungnya, Setiyo menilai perjalanannya dalam mempromosikan penggunaan biogas bagi peternak masih panjang.

Sebab, ia berharap masyarakat Sruni paling tidak 60 persen menggunakan biogas.

Capaian sekarang masih di angka 18,5 pesen atau 232 KK dari total 1.250 KK.

"Itu tantangan kita supaya program limbah kotoran sapi benar-benar teratasi demi mengurangi emisi karbon dan kebutuhan energi mandiri bisa tercukupi," katanya.

Bidang teknis dan Infrastruktur Kelompok Agni Mandiri Desa Sruni Widi  Atmono (52) mengatakan, desanya memiliki potensi besar di bidang biogas dari kotoran sapi lantaran 95 persen warganya merupakan peternak sapi.

Kendalanya ketika ingin membuat biogas secara  swadaya masyarakat merasa eman-eman atau susah mau keluarkan uang.

Padahal membuat instalasi biogas cukup membutuhkan biaya sekira Rp 6 juta. Namun, semisal berat memang butuh gotong royong atau insentif dari pemerintah.

"Jadi kami tetap menyadarkan masyarakat yang punya sapi bikin biogas. Sekali belum berhasil, dua kali, sampai tiga kali terus kita ajak supaya pakai biogas," paparnya.

Garap SDM

Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan Dinas ESDM Jateng, Eni Lestari mengatakan, jalan terjal konsistensi penggunaan biogas dapat dimulai dari pengelolaan dengan cara swadaya masyarakat atau swakelola.

Sebab, ketika masyarakat memiliki semangat untuk kembangkan biogas maka akan bernafas panjang.

"Sebaliknya, ketika dibangunkan malah ga dipakai juga ada," jelasnya.

Ia tak menampik ada beberapa kendala dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) sektor biogas.  Terutama dalam mengubah mindset masyarakat karena membangun EBT harus  berbasis masyarakat .

Di antaranya harga gas elpiji masih terjangkau dan mudah didapatkan sehingga membutuhkan semangat dari masyarakat untuk mengembangkan biogas.

"Kami sih garap dulu masyarakatnya, harus ada tanggung jawab masyarakat dari perawatan dan pengelolaannya termasuk pengisian kotoran ternaknya," terangnya.

Begitupun soal perawatan instalasi peralatan biogas harus diperhatikan lantaran biogas menyebabkan impuritas dalam penggunaannya sehingga perlu perawatan rutin yang membutuhkan tenaga khusus.

"Nah kelompok perlu ada yang belajar khusus untuk mengatasi hal itu," bebernya.

Pihaknya menyebut, tahun ini akan mengembangkan 203 unit biogas di Jawa Tengah. Capaiannya kini sudah 85 persen dengan target September 2023 seluruh biogas tersebut sudah terbangun.

"Jumlah tahun ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun kemarin yang di angka 125 unit," katanya.

Ia menyebut, penggarapan potensi biogas sudah hampir di lakukan di semua  kabupaten kota di Jawa Tengah. Namun, pihaknya masih akan melakukan penelusuran terhadap potensi lainnya semisal ada yang belum tergarap. "Misal ada memenuhi syarat, kami garap," tuturnya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Tengah menjadi provinsi kedua di Indonesia yang memiliki jumlah populasi sapi terbanyak yakni di angka  1,91 juta ekor.

Sedangkan data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2022 , populasi sapi potong sebanyak 1.910.864 ekor,  Sapi perah 143.465 ekor dan Babi 79.179 ekor. Di samping itu, Data dari Dewan Energi Nasional potensi biogas di Jawa Tengah mencapai 348,4  megawatt.

"Kepanjangan tangan kami yang berada di daerah sudah menelusuri potensi biogas terutama di peternakan sapi. Bisa saja ada potensi yang belum kegarap," cetusnya.

Diakuinya, kontribusi energi biogas belum terlalu  besar dalam target bauran energi di Jawa Tengah. Jawa Tengah mengejar target 21,82 persen bauran energi terbarukan pada 2025. Namun, capaian bauran energi masih di angka sebesar 15,76 persen pada tahun 2022.

Dari angka tersebut biogas masih menyumbang 0,08 persen. Kontribusi paling besar disumbangkan dari sektor biodiesel sebesar 6,25 persen dan biomassa sebesar 7,58 persen.

"Fungsi EBT  dalam mendongkrak bauran memang butuh kapasitas pembangkit dan investasi yang besar sehingga program biogas sebagai alternatif energi rendah karbon dapat dimaksimalkan," katanya.

Ia menambahkan, potensi energi  biogas sebagai energi ramah lingkungan dapat diandalkan dalam mendukung program pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Dikutip dari laman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebut, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan kontribusi biogas pada bauran energi nasional sebesar 489,8 juta m3 pada tahun 2025.

Data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM mencatat bahwa pada 2022, total implementasi biogas mencapai 47,72 juta meter kubik yang berasal dari 52.113 unit fasilitas biogas, baik untuk rumah tangga, komunal, maupun industri.

"Target Roadmap EBT negara kita  sampai tahun 2050 sehingga generasi sekarang perlu dikenalkan energi alternatif termasuk biogas," tegasnya.

Perlu Rambah Desa dan Kota

Ketua Program Studi (Prodi) Magister Energi Sekolah Pascasarjana Undip Semarang,  Dr. Ir Jaka Windarta mengatakan, pengembangan biogas di Jawa Tengah sudah cukup bagus. Hanya saja perlu terus dikembangkan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Untuk wilayah pedesaan hal itu sudah dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya. Namun, pengembangan di desa biasanya terkendala dengan biaya pembangunan instalasi biogas.

Menurutnya, warga desa akan lebih memilih membeli anakan sapi daripada berinvestasi membangun instalasi sumur biogas di angka Rp7 jutaan.

"Nah peran pemerintah perlu ada kucuran bantuan tak perlu 100 persen bisa 50 persen atau 70 persen," katanya kepada Tribun, Selasa (15/8/2023).

Wilayah perkotaan, lanjut dia, bisa dikembangkan biogas komunal semisal  Stasiun Tawang Semarang melakukan terobosan menggarap biogas melalui fasilitas toilet umum.

Dapat pula dilakukan di pondok pesantren, sekolah, dan tempat komunal lainnya.

"Di area perkotaan memang butuh melakukan terobosan itu sebagai upaya pengelolaan waste to energy," paparnya.

Pemerintah dalam mengerjakan biogas perlu menggandeng pihak lainnya seperti perusahaan yang bergelut di bidang tersebut. Contohnya, perusahaan pengolahan susu maka perlu didorong untuk mengelontorkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) ke sektor pengembangan biogas.

"Nah jadi sejalan antara pemerintah masyarakat dan pengusaha. Apalagi potensi biogas di Jateng cukup besar," bebernya.

Pengembangan biogas supaya lebih menarik perlu juga dikembangkan pada sektor pemanfaatan seperti biogas untuk listrik. Sektor pemanfaatan ini perlu sentuhan tambahan dari perguruan tinggi, akademisi dan ahli. "Biogas untuk memasak itu mudah, akan tetapi untuk listrik belum banyak," katanya.

Selain itu, pemerintah ketika hendak memberikan bantuan pembangunan biogas harus memastikan bukan peternak musiman. 

"Peternak yang diberikan bantuan harus peternak yang memang memiliki jangka panjang," jelasnya.

Manager Program Sustainable Energy Access dari lembaga Institute for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum mengatakan, jika menilik dari kegiatan usaha peternakan, pembuatan makanan yang limbahnya memiliki potensi biogas seperti tahu dan tempe, beberapa kabupaten di Jawa Tengah bisa menjadi lokus pengembangan biogas khususnya yang memiliki banyak sektor usaha tersebut.

Pemilik ternak atau usaha rumahan dapat mengupayakan secara mandiri, biasanya perlu melihat contoh yang berhasil, mengetahui teknisnya, dan teryakinkan dengan manfaat yang bisa dicapai.

"Individu yakni dalam skala rumahan juga dapat memanfaatkan limbah organik dari sisa sayur, buah, makanan untuk biogas dengan biogas mini rumahan," paparnya.

Citra menjelaskan, penyediaan teknologi digester saat ini juga cukup terbuka, karena tidak perlu "alat” khusus melainkan desain tangki dan perpipaan yang sesuai, jadi bisa dilakukan secara mandiri.

Pembangunannya juga bisa dilakukan gotong royong atau komunal. "Lembaga pembiayaan bisa membantu percepatannya dengan menyediakan skema pembiayaan ringan atau khusus sehingga lebih mudah diakses masyarakat," cetusnya.

Khusus biogas kotoran ternak, lanjut Citra, pemanfaatan biogas jenis tersebut sama halnya seperti energi dari bahan bakar lain, bahan baku diperlukan terus menerus untuk memastikan sumber energi (berupa gas) dihasilkan secara kontinyu.

Di kasus digester dari kotoran ternak, feed kotoran ternak harus masuk dalam digester dalam jumlah tertentu dan terus menerus dalam periode tertentu.

Biogas kotoran sapi, misalnya, baru dihasilkan di hari ke 7-9, bahkan lebih lama setelah dimasukkan proses penguraian menjadi biogas.

"Beberapa penelitian menemukan bahwa 1 kg kotoran sapi dapat menghasilkan sekitar 40 liter biogas dalam kondisi ideal," terangnya.

Untuk memastikan volume dan tekanan gas yang stabil, digester perlu dirancang dengan perhitungan yang matang – termasuk kapan feed dimasukkan, berapa kg feed yang diperlukan, ukuran digester yang tepat.

Kemudian panjang perpipaan menuju ke kompor/aliran listrik, dan seterusnya. Salah satu atau lebih faktor ini mempengaruhi keberhasilan biogas.

Jika ternak yang dimiliki sedikit, memang disarankan menggunakan digester komunal sehingga feed yang diperlukan bisa dipenuhi.

"Sewaktu biogas hendak ditingkatkan secara masif, penggunaan komunal mulai dari 1-3 rumah sampai puluhan rumah dapat didorong, dan ini memerlukan kelembagaan yang baik pengelolaan, operasional, pembiayaan," katanya.

Citra dalam studi IESR melalui buku Akses Energi Bersih dan Pengaruhnya pada Kewirausahaan Perempuan (2018) mengungkapkan,  penggunaan biogas menciptakan lingkungan memasak yang nyaman dan bersih bagi perempuan.
Selain itu, biogas yang menghasilkan bioslurry dapat dimanfaatkan oleh para petani untuk menyuburkan tanah mereka menjadi lebih gembur dan mereka dapat mengurangi pembelian pupuk kimia.

"Penggunaan biogas tidak hanya memberikan kontribusi terhadap ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan, namun juga mendorong terjadinya proses transformasi sosial, termasuk upaya untuk menguatkan kapasitas dan hak kelompok perempuan," tulisnya dalam studi tersebut.

Kendati banyak manfaat, pembuatan biogas sebagai energi alternatif perlu adanya subsidi untuk pembangunan digester. Meskipun memberikan manfaat yang besar, digester biogas bukanlah teknologi yang murah. 

Dijelaskan Citra , salah satu program pengembangan biogas dengan pendekatan lebih sesuai yakni program Biogas Rumah  (BIRU). Biogas Rumah  (BIRU)  menggunakan pendekatan bisnis (bukan gratis). 

Harga sebuah digester dengan ukuran menengah relatif cukup mahal bagi masyarakat perdesaan, yaitu sekitar Rp7 juta.

Untuk mendorong masyarakat menggunakan digester, BIRU bekerja sama dengan lembaga perbankan dan lembaga keuangan mikro untuk penyediaan pinjaman. Program ini juga memberikan subsidi sebesar 20 persen.

Dinukil dari laman resmi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) menyebut,Kementerian ESDM Hivos dari pemerintah Belanda melakukan kerjasama Program BIRU Pengembangan biogas rumah ini merupakan salah satu dari program pengembangan bioenergi yang berkontribusi pada pencapaian penyediaan EBT 23 persen pada tahun 2025. 

Sampai dengan tahun 2021, Program BIRU telah memfasilitasi terbangunnya 25.157 unit biodigester dan telah memobilisasi pendanaan sebesar lebih dari Rp 200 milyar.

Program itu telah menyumbang lebih dari 50 persen unit terpasang biodigester di Indonesia. Total hingga 2021 terdapat 47.998 unit biodigester terpasang secara nasional.

"Pendekatan BIRU dinilai lebih menciptakan pasar teknologi bersih yang berkelanjutan dan membantu masyarakat yang kurang mampu untuk menggunakan biogas," tulisnya. (Iwn)

Berita Terkini