"Maka hari ini kami kumpulkan, kami tegur, dan kami minta buat surat pernyataan agar tidak mengulangi berjualan di zona merah. Kalau mengulangi lagi, barang dagangan akan kami sita. Karena ada ketentuannya, bisa kami sita maksimal 12 hari," jelas dia.
Untuk diketahui, Pemkab Pati sudah dua kali merelokasi para PKL. Kali pertama di Pusat Kuliner Pati yang berlokasi di lahan TPK Perhutani belakang GOR Pesantenan.
Namun, lokasi itu dikeluhkan oleh para PKL karena dianggap tidak strategis.
Akhirnya Pemkab Pati membangun sentra PKL baru, yakni Alun-Alun Kembangjoyo.
Tempat ini sempat ramai pada masa awal setelah resmi dibuka, yakni pada 2022.
Namun, lokasi tersebut berangsur sepi dan banyak ditinggalkan pedagang.
PKL penjual sate madura, Irfan, mengatakan bahwa Alun-Alun Kembangjoyo kini sangat sepi. Berjualan di sana justru merugi.
"Di Kembang Joyo sepi. Modal jualan Rp 500 ribu, hasil jualan cuma Rp 100 ribu. Rugi Rp 400 ribu. Kalau di Alun-Alun Simpang Lima banyak pengunjung, jadi masih bisa dapat untung," ujar pria asal Madura yang telah menjadi warga Panjunan, Pati, ini.
Irfan mengaku tidak setuju jika Alun-Alun Pati jadi zona larangan berjualan. Menurut dia, tidak sepatutnya pusat keramaian tidak ada pedagangnya.
Baca juga: Pj Bupati Kudus Harapkan Gebyar PKL Bisa Digelar Rutin Setiap Tahun, Banyak Positifnya
"Kalau ada pengunjung masa nggak ada yang jualan? Kayak kota mati. Selain itu sebagai rakyat kecil saya butuh berjualan. Sebab saya harus biayai anak sekolah dan kebutuhan rumah tangga. Sementara saya tidak punya gaji bulanan. Iya kalau ada bantuan tiap bulan, kalau tidak, mau makan apa?" ucap dia.
Irfan berharap, Pemkab Pati memberikan solusi bagi PKL agar bisa berjualan di lokasi strategis.
"Kalau tidak boleh di alun-alun, mungkin bisa masjid ke barat atau di mana lah. Tapi jangan dikasih tempat sepi seperti Kembang Joyo," tandas dia. (mzk)