TRIBUNJATENG.COM -- Kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah yang terjadi selama 2015 hingga 2022 tengah menjadi sorotan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut bahwa korupsi dari pertambangan liar ini merugikan negara hingga mencapai Rp271 triliun.
Inilah alasan publik geram dengan para tersangka yang diduga terlibat di dalamnya. Apalagi kemudian kasus ini ternyata juga melibatkan beberapa sosok terkenal, yakni Helen Lim yang selama ini dikenal sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), serta Harvey Moeis yang merupakan suami dari pesohor Sandra Dewi.
Kemarin Kejagung sudah memeriksa Sandra Dewi dalam kaitan kasus yang menjerat suaminya itu.
Sebelumnya penyidik Kejagung juga telah menggeledah kediaman Harvey di kawasan Jakarta Selatan. Dari penggeledahan itu, Kejagung menyita dua mobil dan sejumlah jam tangan mewah.
Lantas bagaimana sebenarnya duduk perkara kasus ini? Dari mana pula Kejaksaan Agung menetapkan angka korupsi Rp271 triliun yang memancing atensi masyarakat itu?
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkem) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana blak-blakan menjelaskannya dalam wawancara eksklusif dengan Tribunnews di kantornya di Komplek Kejakasaan Agung pada Rabu (3/4) lalu.
Berikut wawancara lengkap dengan Ketut Sumedana
Tanya (T): Apa sih yang dimaksud dengan Rp271 triliun ini?
Jawab (J): Jadi begini, saya berbicara kasus dulu ya, biar nggak ujug-ujug wah. Jadi kebijakan Jaksa Agung sekarang ini adalah menguak atau mencari perkara yang berkualitas.
Sehingga deretan perkara-perkara big case yang ditangani Kejaksaan Agung semenjak beliau menjabat sebagai Jaksa Agung bisa sangat terang dilihat masyarakat.
Mulai dari (kasus) Jiwasraya, Asabri, Duta Palma. Itu semua triliunan (nilai korupsinya). Ada juga kasus korupsi Garuda. Hampir semua sektor sudah kena ini sebenarnya.
Nah, baru saya mulai ke Rp271 triliun itu. Kalau kita melihat konstruksi perkaranya, ini sangat sederhana. Jadi negara punya lahan, dikelola oleh PT Timah, kemudian ada penambang-penambang ilegal yang ada di sana.
Hasil penambangan ini dijual kepada PT Timah. Itu cerita yang sangat sederhana. Artinya apa? Apa yang dibeli PT Timah ini adalah riil menjadi kerugian negara, barangnya sendiri.
Kemudian dampak dari penambangan ilegal menimbulkan satu kerusakan yang begitu masif dan luas. Itu dua. Kerusakan lingkungan. Kemudian kerusakan ekologi. Apa itu kerusakan ekologi?
Kerusakan sosial ada di sana. Masyarakat yang dulunya sebagai petani, nelayan, itu tidak bisa bekerja lagi. Kenapa? Karena ini sudah rusak lingkungan.
T: Ekologinya ya?
J: Ekologi. Secara sosial rugi. Kemudian yang terbesar adalah biaya rehabilitasi. Tidak mudah dan ini butuh waktu yang cukup lama.
Akibat ulah mereka tadi, melakukan penambangan liar yang begitu masif dengan lahan yang begitu luas, kalau ini negara yang menanggulangi besar banget.
Sehingga item-item inilah yang menyebabkan kenapa ini menjadi besar seperti itu. Jadi bukan uang negara masuk (lalu) diambil.
Kalau itu terlalu mudah. Bicaranya terlalu muda. Kita harus bicara penanganan perkara itu secara general dan komprehensif. Jadi harus betul-betul siapa yang harus bertanggungjawab terhadap kegiatan ini.
T: Yang menghitung ini siapa sampai item, oh item ini menimbulkan potensi kerugian? Bagian menghitung ini masyarakat pasti ingin tahu. Siapa itu?
J: Kita dalam menangani perkara korupsi, sebenarnya tidak saja kerugian negara secara riil, tetapi di sana juga ada yang namanya perekonomian negara.
Sehingga suka tidak suka kita harus mengembangkan dan menerapkan ini dalam tindak pidana korupsi yang akan kita sidangkan di pengadilan. Dan ini sudah beberapa terbukti.
Salah satu contoh perkara minyak goreng. Itu tidak secara riil orang diambil, tapi karena permainan kuota, negara menjadi rugi akibat negara memberikan subsidi.
Ini kita hitung menjadi kerugian negara. Jadi begitu. Jadi jangan berpikir itu korupsi mengambil uang negara, APBD keluar, pengadaan barang jasa dimark up atau dimark down atau tidak riil, atau istilahnya banyak yang tidak dibeli misalnya.
Itu terlalu mudah. Jadi itulah yang dibilang oleh Pak Jaksa Agung, buatlah (penanganan) perkara yang berkualitas yang nilai kerugiannya fantastik dan menyebabkan impact kepada masyarakat begitu luas.
T: Jadi siapa yang menghitung angka kerugian negara itu?
J: Karena semua unsurnya terkoneksi dengan baik, tentu yang paling pertama kita ajak kerja sama adalah BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan).
Mereka sudah punya pengalaman. Perkaranya Duta Palma juha kita juga gandeng BPKP. Mereka sudah punya pengalaman, sudah punya experience. Ahli lah mereka di bidang itu.
Kemudian kami juga menggandeng ahli lingkungan. Gandeng ahli ekologi.
T: Maksudnya dari Kementerian Lingkungan Hidup atau independen dari universitas?
J: Bisa dari universitas, karena kita juga pernah memakai yang bersangkutan dalam perkara yang lain. Kemudian kita cari ahli ekonomi.
Dari sisi ekonomi makro dan mikro seperti apa. Ini banyak ahli yang kita libatkan dalam rangka menghitung ini. Jadi nggak ujug-ujug jaksa bisa menghitung sendiri. Nggak.
Penyidik nggak bisa menghitung seperti itu, tapi mereka melibatkan semua ahli, ahli berkesimpulan bahwa kerugian negara ini Rp271 triliun.
Kita juga tidak hanya menyidik dalam datang ke TKP begitu, nggak. Kita juga sudah menggunakan satelit. Ada foto satelit, ada video satelitnya. Bahkan saya sering ngomong bahwa kerusakan lingkungan yang ada di sana itu dua kali lipat (luas) Jakarta.
T: Berarti yang paling besar itu biaya rehabilitasinya?
J: Itu biaya yang paling besar. Karena itu bicara mengenai index generation. Kalau bicara menggunakan rehabilitasi lingkungan nggak bisa satu tahun, lima tahun nggak bisa. Itu bisa 100 tahun.
Sampai lahan-lahan itu bisa dimanfaatkan baik lagi, ditempati oleh manusia, oleh habitat lain, makhluk hidup semuanya, rantai makanan bisa berjalan dengan baik.
T: Kalau nanti perkara ini jalan, rehabilitasi ekologi kerusakan alam itu tanggung jawabnya kejaksaan atau siapa?
J: Justru begini, dengan adanya penegakan hukum. Dengan adanya penerapan unsur perekonomian negara, ini yang kita harapkan kerusakan ini akan beralih kepada pihak-pihak yang menyumbang kerusakan, atau mungkin korporasi juga akan kita akan jadikan tersangka ke depannya seperti kasus-kasus yang lain. Bisa.
T: Terus nanti yang mau merecovery siapa? bukan wewenang Kejaksaan Agung kan?
J: Tidak. Nanti kalau hasil daripada hasil recovery aset yang sekarang kita lakukan, itulah yang menjadi bahan untuk dilakukan rehabilitasi lingkungan ke depannya.
T: Kerugian negara atau potensi kerugian negara ini kan harus dikembalikan. Salah satu cara yang kemudian dilakukan Kejaksaan Agung adalah menyita harta para tersangka. Bagaimana cara Kejaksaan Agung mengejar kekayaan para tersangka di luar Indonesia?
J: Kita punya pengalaman panjang mengenai ini. Kita di berbagai negara sudah punya yang namanya MLA. Mutual Legal Assistance. Jadi kita buat perjanjian dengan beberapa negara terkait dengan harta-harta yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Kemarin kita sudah mengembalikan aset Asabri, dari perkara Jiwasraya yang miliknya Benny Tjokro di Australia, nilainya kurang lebih hampir Rp450 miliar. Itu dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
T: Dari 16 tersangka kasus tambang timah ilegal di Bangka, seberapa yang sudah dilakukan pemblokiran harta mereka yang di luar negeri terutama?
J: Kalau sekarang belum bisa saya jelaskan secara gamblang satu per satu. Tapi yang jelas, upaya-upaya itu pasti kita lakukan. Saya belum dapat juga data secara lengkap karena perkara juga baru berjalan ini.
T: Muncul di masyarakat, di media sosial mengenai hartanya Harvey Moeis ada di Australia rumah mewah. Apakah ini sudah masuk radarnya Kejaksaan Agung?
J: Itu bagian informasi yang kita inginkan sebagai penegak hukum. Makanya media sosial itu bagian dari intelijen sebenarnya. Media sosial, media massa, itu bagian dari intelijen dan masukan yang positif dalam penegakan hukum. Kita senang ada itu.
Ada yang flexing, kita senang. Itu bagian strategi kita melihat secara digital. Jejak digital orang-orang ini mana hartanya? Oleh karena itu kalau kita melihat profiling orang itu dari jejak digital bisa kita lihat.
T: Dalam proses penyitaan kemarin ada uang Rp76 miliar di rumahnya Harvey Moeis, itu sebenarnya duit apa?
J: Nggak, begini. Kami belum pernah merilis angka seperti itu. Yang kami rilis itu adalah hasil penyitaan yang ada di Helena Lim. Itu Rp10 miliar dari rumahnya di PIK. Kemudian ada SGD 2 juta dan beberapa perhiasan kita sita.
Tapi kalau khusus yang HM, Harvey Moeis yang kemarin itu hanya kita menyita mobil dua, kemudian dokumen elektronik, dan surat-surat fisik, dan beberapa perhiasan yang belum bisa kita identifikasi.
T: Uangnya nggak ada?
J: Uang belum kita identifikasi. (tribun network/dod)
Baca juga: Inilah Tampang Pelaku Pencabulan di Panti Asuhan, Ancam Korban Pakai Pistol Mainan
Baca juga: Sosok Tigor Sianturi, Penghuni Deck Bawah Pengendali Jantung Kapal Pelni KM Gunung Dempo
Baca juga: Video Romansa Masa Lalu, Anak-anak di Solo Ngaji Diterangi Lampu Sentir
Baca juga: "Angkanya Belum Pernah Setinggi Itu" Erick Thohir Ungkap Alasan PSSI Pilih Erspo Buat Jersey Timnas