Pemilu 2024

Cerita Kades di Jawa Tengah saat Pemilu 2024, Tolak Dukung Paslon 02 Berujung Intimidasi

Penulis: iwan Arifianto
Editor: raka f pujangga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Lokasi pertemuan puluhan kepala desa (kades) di Temanggung untuk melakukan rapat koordinasi untuk pemenangan paslon 02 di rumah makan Alaz Daun, Jalan Pahlawan Nomor 20, Wanutengah, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Sabtu (3/2/2024). Kasus ini sempat diproses Bawaslu setempat sebagai dugaan pelanggaran pemilu, tetapi proses hukum dihentikan dengan dalih kurangnya bukti.

Tribun berupaya mengkonfirmasi kebenaran video tersebut kepada seorang kades di daerah tersebut. Ia membenarkan video itu tetapi enggan keteranganya dikutip.

Menurut Kades di wilayah eks-karisidenan Semarang, pembuatan video itu didalangi Tim Bambu Runcing. Penggerak tim itu adalah para kades, mereka mulai bergerilya sejak dua bulan sebelum coblosan.

"Iya, ada namanya Tim Bambu Runcing yang bertugas untuk mengumpulkan video para kades, isinya mengucapkan terimakasih atas program-program pak Jokowi dan kades tegak lurus sesuai arahan Jokowi," tutur seorang Kades di Jawa Tengah yang juga meminta identitasnya disembunyikan, Kamis (29/2/2024).

Tim itu melakukan pula gerakan tanda tangan yang mendukung Jokowi. "Di daerah saya, dari 200an desa ada sebanyak 167 desa yang melakukan tanda tangan dukungan. Artinya, mayoritas kepala desa mendukung pasangan 02," terangnya.

Kendati mayoritas kades banyak yang mendukung 02, ia memilih sebaliknya. Imbasnya, surat panggilan polisi datang ke kantornya.

Tak Dukung Berujung Panggilan Aparat

Ketika ditemui Tribun, Kades ini tak berhenti merokok. Kepulan asap di ruang kerjanya tampaknya membuatnya kian tenang.

Ia mengaku, sebenarnya masih takut menceritakan pemanggilan aparat hukum yang hendak membidiknya.

"Surat panggilan klarifikasi berasal dari Polres setempat tanggal 6 Februari 2024 pagi. Apakah ini berkaitan dengan Pemilu, saya juga bingung," jelasnya, Kamis (29/2/2024).

Selain pemanggilan dari Polres, adapula klarifikasi ke Kejaksaan setempat terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

"Detail tudingan APBDes senilai berapa jumlahnya tidak ada. Hanya klarifikasi soal adanya laporan. Saya jawab normatif saja, bukti SPJ APDes semua saya bawa saat pemeriksaan," bebernya.

Selama diperiksa penyidik baik di Kepolisian maupun Kejaksaan, kata dia, tidak ada kalimat tertentu dan mereka hanya menyatakan hanya melakukan klarifikasi.

"Penyidik polisi dan jaksa tak ada intimidasi atau meminta dukungan ke pasangan Capres tertentu," kata dia di ruang kerjanya.

Kendati begitu, menurut dia, pemanggilan itu menjadi perbincangan para kades di daerahnya. Para kades ditakut-takuti oleh kades pendukung 02 supaya mengikuti alur. Semisal tidak maka nasibnya akan seperti dirinya.

Ia yang merupakan pengurus Dewan Pengurus Pusat (Sebuah Organisasi Desa) saja bisa kena bidikan aparat. Apalagi kepala desa yang tidak aktif di organisasi. 

"Saya jadi bahan, dimanfaatkan untuk menakut-nakuti, saya saja yang dianggap banyak relasi bisa kena masalah apalagi kades lainnya, jadi pemanggilan ini tetap berdampak. Tak hanya di daerah sini, tapi sampai Klaten," ungkapnya.

Ia menyebut, panggilan itu berdampak pula terhadap psikisnya. Ia merasa ketakutan sampai sekarang meskipun pemilu 2024 telah usai.

"Bahkan, ketika coblosan pemilu 2024, saya pilih pergi liburan bareng keluarga," katanya.

Ia merasa kondisi pemilu 2024 tak baik-baik saja. Baginya, pemilu 2024 merupakan pemilu paling menakutkan dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.

"Saya takut karena di kampung sini pasangan 02 kalah. Takut ada ancaman lagi, meskipun kalau di sini lebih soft mainnya. Beda dengan Jepara dan Temanggung yang lebih blak-blakan," terangnya.

Kasus dugaan penyelewengan APBDes yang ditudingkannya kini kasusnya tidak dilanjutkan. Hal berbeda dialami dengan Hartono kepala Desa Manjung, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri.

Ia dituding melakukan dugaan korupsi aset negara berupa tanah bengkok senilai Rp327,4 juta.

Kuasa hukum Hartono, Mudzakir mengatakan, kasus yang menyeret kliennya sarat akan politik. Sebab, kasus ini berjalan sejak tahun 2020 tetapi mandek.

Kemudian  sewaktu konsolidasi dukungan Kades ke pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Gibran di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta Pusat, Minggu 19 November 2023, Hartono menolak untuk datang.

Alasannya menolak datang karena memiliki pandangan politik lain. "Selepas menolak datang ke GBK , klien kami dipanggil lagi  oleh Kejari Wonogiri diperiksa sebentar lalu statusnya naik jadi tersangka langsung ditangkap. Lalu dilimpahkan ke Tipikor Semarang," tuturnya, di Kota Semarang, Jumat (15/3/2024).

Pada tahap awal persidangan, mudzakir menyebut, sempat mengajukan asersi bahwa perkara ini ada unsur politik dan penegakan hukum yang tebang pilih yang berkelindan dengan pemilihan presiden (Pilpres).

"Kami sudah berusaha membuktikan dugaan penggerakan mobilisasi itu dengan  menghadirkan saksi untuk mengatakannya. Namun, semua takut, jadi hal itu tidak jadi kami angkat," tuturnya.

Para saksi yang diminta adalah para kades lain untuk hadir di persidangan supaya mereka memberikan kesaksian hal tersebut.

Namun, mereka tidak mau karena takut apalagi kelompok yang menang sudah ketahuan.

"Kami sudah berusaha mati-matian untuk menghadirkan saksi itu, tetapi tidak ada yang mau. Akhirnya, kami hanya fokus ke substansi hukum yang menjerat Pak Hartono saja," katanya.

Kasus persidangan itu kini masih dalam tahap menghadirkan saksi ahli. Ia menilai, kasus ini sebatas maladministrasi.

Karena tanah bengkok boleh digunakan sebagai pendapatan tambahan yang penting ada mekanisme yang diatur oleh peraturan desa.

Aturan itu sudah diatur dalam UU nomor  6 tahun  2014, Permendagri nomor 1 tahun 2016, dan aturan teknis ke bawah lainnya membuat pemerintah desa harus melakukan lelang terlebih dahulu lewat musyawarah desa untuk menentukan tanah bengkok untuk dikuasai siapa saja.

Aparatur desa tetap diperbolehkan mendapatkan tunjangan dari tanah bengkok hanya  saja  harus ada peraturan desa yang dibuat oleh kades, sekdes dan aparatur lainnya.

"Itu yang tidak dilakukan oleh klien kami. Hal itu yang digunakan oleh jaksa penuntut umum sebagai perbuatan korupsi karena menggunakan aset desa tidak sesuai mekanisme," katanya.

Padahal, kata dia, nilai kerugian dari aset tanah bengkok tidak bisa didefinisikan sebagai aset negara sehingga ketika ada kerugian tidak semena-semana langsung didefinisikan sebagai perilaku korupsi.

Persoalan itu sebetulnya bisa digugat melalui gugatan perdata ke arah penyalahgunaan aset desa untuk mengembalikan aset desa.

Sebaliknya, pendekatan dari Kejari Wonogiri adalah pendekatan penegakan hukum. "Hal itu yang kami sayangkan.

Pemerintah Kabupaten Wonogiri juga lepas tangan, seharusnya Dinas terkait juga harus membina kades ketika tanah bengkok belum ada peraturan desa ya diingatkan bukan dibiarkan," ujarnya.

Selain Hartono, Mudzakir  mengatakan, mendampingi dua perangkat dari dua desa di Grobogan yang mendapatkan kasus serupa.

Mereka dipanggil Polres Grobogan untuk pemeriksaan klarifikasi tentang aset desa. "Yang lanjut kasusnya sampai persidangan hanya Wonogiri," ungkapnya.

Terpisah,Kepala Seksi Intelijen Kejari Wonogiri, Endang Darsono membantah penangkapan kades Hartono ada kaitannya dengan pemilu.

Sebab , kasus itu terjadi sejak tahun 2020. Pihaknya kemudian menindaklanjuti penyelidikan dan penyidikan mulai Februari 2023. "Tidak benar, itu hanya pengalihan isu saja," katanya saat dihubungi, Kamis (21/3/2024).

Merata di Jateng

Seorang kades yang menjadi pentolan di organisasi Kades tingkat nasional mengaku, pola-pola tekanan para kades dalam upaya menggalang dukungan 02 memang masif dijalankan di Jawa Tengah.
Gerakan ini sudah dilakukan sejak November 2023, salah satu cara yang ampuh digunakan adalah dengan melakukan pemanggilan kepada para kades oleh aparat penegak hukum baik Kepolisian maupun Kejaksaan.

"Tekanan bentuknya diperiksa kegiatan di desa. Ancaman mau tidak mau harus dukung ke 02. Kamu ada celah, kamu korupsi. Hampir semua kades di Kabupaten di Jateng merasakan semua," katanya di Kota Semarang, Minggu (11/2/2024).

Khusus di wilayah Jateng, ada beberapa kades dari berbagai daerah pernah mendapatkan panggilan polisi seperti dari Kabupaten Jepara, Rembang, Wonosobo, Klaten, Wonogiri, Purwodadi, Temanggung, Kabupaten Semarang, Banjarnegara, dan daerah lainnya.

"Polisi tidak memanggil semua Kades, mereka mengincar kades yang vokal. Jadi untuk shock terapi bagi kades lainnya. Dampaknya, kades lainnya pada mikir dua kali, itu saja ada Kades yang vokal bisa dipanggil polisi, apalagi kita," ujarnya.

Menurutnya, enam (6) bulan lalu sudah mengingatkan ke para Kades bahwa kalian diawasi.

Mereka awalnya tak percaya tetapi selepas masifnya panggilan polisi ke para kades akhirnya mereka baru percaya.

"Habis itu mereka kaget ternyata benar," tuturnya.

Dari pola-pola intimidasi yang menjerat para Kades, menurut dia, menjadikan demokrasi hari ini seolah-olah ditekan dan diarahkan ke paslon tertentu.

Ia menilai, seharusnya negara menjamin kebebasan bukan malah memberikan tekanan. "Ya inginnya pemilu normal saja, bebas beri dukungan, baik itu ke 01, 02 maupun 03," terangnya.

Sebagai orang yang duduk di posisi strategis di organisasinya, ia sendiri merasakan tekanan itu.

Adanya tekanan-tekanan yang diperolehnya membuatnya tak berani pergi sendirian.

Ia selalu mengajak dua teman untuk menemaninya.

Terutama perjalanan ke luar kota.

"Demokrasi Indonesia sudah mundur, kondisi ini sepertinya juga ditangkap oleh kelompok lainnya yakni mahasiswa dan civitas akademika," paparnya.

Kondisi serupa dirasakan pula oleh seorang Kades di kabupeten eks-karesidenan Surakarta yang mengaku merasa terintimidasi selama pemilu 2024. Bahkan, ia sampai menyebut pemilu 2024 sebagai kompetisi tidak wajar.

"Intervensi pemilu 2024 sangat terasa dibanding pemilu sebelumnya. Periode pertama jadi kades  yakni pemilu 2019 tidak seperti ini. Namanya demokrasi wajar ada kompetisi, nah pemilu sekarang kompetisinya tidak wajar," ujar kades ini yang meminta identitasnya disembunyikan saat ditemui di rumahnya, Sabtu (23/3/2024).

Ia merasa diintimidasi lantaran lima hari sebelum pemilu mendapatkan surat panggilan dengan keterangan klarifikasi dari Polres setempat.

Dalam surat itu, ia diminta menghadap penyidik dua hari sebelum pemilu untuk mengklarifikasi pemeriksaan APBDes dari tahun 2019 sampai tahun 2023.

"Saya diperiksa 8 jam dari pukul 09.00 sampai pukul 16.00. proses tanya jawab hanya sebentar, habis itu saya dicuekin dua penyidik selama berjam-jam," paparnya.

Di ruangan penyidik, kata dia, pertanyaan normatif saja. Ia menilai, pemanggilan tersebut hanya untuk shock therapy saja. 

Tujuannya untuk menakuti kades lainnya. Sebab, pemanggilan dirinya yang notabene adalah ketua persatuan kepala desa di kabupaten tersebut seperti ingin memberikan sinyal terhadap kepala desa lainnya.

"Di daerah ini hanya saya yang dipanggil mungkin karena saya ketua paguyuban kepala desa di sini," katanya.

Belakangan diketahui, selepas pemilu 2024, pemeriksaan itu tidak ada temuan.

"Bahan pemeriksaan APBDes 2019-2023 yang diperiksa sudah saya ambil kembali," terangnya.

Meski tak terbukti, pemanggilan  tersebut merugikan dirinya karena menyebabkan penilaian masyarakat desanya menjadi buruk. Kendati pemanggilan itu hanya dalam tahap klarifikasi.

"Harusnya ada berapa tahapan, masuk dulu ke Dispermades sebagai pembina desa , misal ketika ada temuan yang benar-benar salah dan bermasalah baru kades dipanggil," keluhnya.

Sementara, seorang kades di eks-karesidenan Semarang menyebut, pernah didatangi sebuah perwakilan partai dari koalisi 02 untuk diajak ke Solo pada pertengahan Januari 2024. 

Ia pun heran mengapa dirinya diajak padahal melihat Daftar Pemilih Tetap (DPT) di desanya terhitung kecil tak lebih dari 1.000 pemilih.

Namun, ia menilai, jabatannya yang strategis sebagai ketua paguyuban para kades yang menjadi alasannya.

"Saya menolak untuk ikut karena takut kedatangan itu dinarasikan berbeda sehingga ditakutkan timbul fitnah," katanya yang enggan disebutkan identitasnya.

Akibat penolakan itu, ia menduga, berujung adanya pemeriksaan dari Inspektorat pemerintah kabupaten setempat.

Menurutnya, pemeriksaan inspektorat ke desanya tak lazim.

Sebab, biasanya kunjungan inspektorat ke desa dilakukan karena ada dua hal yakni kunjungan reguler dan ketika ada laporan.

"Kunjungan reguler sudah dilakukan sebelumnya. Soal kunjungan adanya laporan itu tidak ada. Namun, kami  tetap didatangi sampai lebih dari tujuh (7) kali menjelang pilpres," bebernya saat ditemui di kantornya, Rabu (20/3/2024).

Kala itu, ia tak mengambil pusing atas pemeriksaan tersebut. Kendati banyak teman kadesnya menyebut bahwa dirinya telah dibidik.

Ia pun berusaha mengikuti alur pemeriksaan itu sehingga selama menjelang pemilu dirinya disibukkan  dengan mengurus berkas-berkas permintaan Inspektorat hingga 20 kali.

"Berkas sampai dua kardus besar. Pemeriksaan berupa dana APBDes, maupun dana bantuan lainnya," katanya.

Ia menjelaskan, setidaknya ada dua hal yang janggal dalam pemeriksaan itu karena dinilai terlalu mengada-ada. Semisal  persoalan Penghasilan Tetap (Siltap) potongan BPJS sebesar 1 persen yang dipersoalkan.

"Padahal siltap adalah hak kita. Ketika hak kita diambil oleh pemkab  berupa potongan satu (1) persen untuk BPJS masak kita yang harus melaporkan," ungkapnya.

Selepas itu, muncul lagi persoalan sertifikat 16 bidang tanah desa. Ia mengakui, 16 bidang tanah milik desanya belum memiliki sertifikat lantaran biaya mengurusnya mahal.

Sedangkan biaya mengurus sertifikat tidak boleh menggunakan dana desa.

Alokasi dana yang paling memungkinkan  yakni menggunakan pendapatan asli desa (PAD).

"Desa kami tidak ada PAD. Sedangkan setiap bidang butuh biaya sekitar Rp5 juta perbidang," katanya.

Padahal tanah desa tersebut sudah ada jauh sebelum dirinya menjadi kepala desa, persisnya pada 2004. Kemudian dirinya baru menjadi kades pada 2020.

Artinya, persoalan itu seharusnya muncul sejak 2004 bukan sekarang saat dirinya menjadi kades.

Di satu sisi persoalan sertifikat tanah desa sebenarnya ada di hampir semua desa. Di sisi lain, hanya desanya saja yang dipersoalkan.

"Namun, persoalan itu juga sudah kami urus di Kejaksaan. Saat ini masih dalam proses," bebernya, Rabu (20/3/2024).

Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jateng Kombes Dwi Subagio saat menjelaskan kasus update Bankeu Provinsi Jawa Tengah. Ia membantah pemeriksaan kasus itu berkaitan dengan pemilu, di Mako Ditreskrimsus, Banyumanik, Kota Semarang, Jumat (22/3/2024). (Tribun Jateng/ Iwan Arifianto)

Bankeu Dalam Pusaran Pemilu

Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah  melakukan penyelidikan Bantuan Keuangan (Bankeu) Provinsi Jawa Tengah di tiga daerah meliputi Kabupaten Wonogiri, Karanganyar dan Klaten.

Penyelidikan tersebut diduga sebagai bentuk intimidasi terhadap para kepala desa di daerah tersebut supaya mengalihkan dukungan kepada paslon 02.

Terlebih, Bankeu Provinsi Jateng termasuk program dari Capres 03, Ganjar Pranowo yang menjabat Gubenur Jateng selama 2 periode (2014-2024). Kasus itu sempat ramai diperbincangkan di Desember 2023.

Seorang Kades di wilayah Eks-Karesidenan Surakarta  mengaku, pemeriksaan bankeu beritanya sempat viral di antara para kades di wilayahnya karena kabupatennya termasuk yang hendak diperiksa Polda Jateng.

Ia sempat menanyakan kebenaran  informasi tersebut ke Dispermades setempat tetapi ternyata belum ada panggilan dari Polda. 

Namun, para kades dititahkan oleh Pemkab supaya menyiapkan data Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) terutama desa yang menerima bankeu.

"Para kades merasa sadar bahwa mereka sedang dibidik karena seperti diketahui di sini awalnya banyak yang mendukung 03. Terlebih Bankeu memang bantuan dari Provinsi Jateng yang diberikan selama kepemimpinan Pak Ganjar," katanya.

Dampak dari upaya pemeriksaan tersebut, kata dia, para kepala desa merasa tidak berdaya sehingga memilih untuk pindah dukungan.

Adapula yang memilih untuk diam.

"70 persen kades awalnya di tempat kami mendukung 03 karena merasa itu Gubernur kami, faktanya selepas adanya tekanan-tekanan itu, banyak kades yang memilih diam, hasilnya 02 unggul di sini," tutur pria dua anak ini.

Seorang Kades di eks-karesidenan Semarang menuturkan, para kades di wilayahnya sempat takut buntut adanya pemanggilan para kades dari tiga Kabupaten tersebut.

Mereka takut panggilan itu ikut berimbas ke wilayah mereka.

Menurut dia, upaya dari polisi tersebut efektif untuk memberikan tekanan terhadap para kepala desa di daerah lainnya.

Tak heran, di wilayahnya dukungan para kades berubah yang mulanya mendukung paslon 03 berubah haluan ke paslon 02.

"Perkiraan saya di sini para kades yang masif mendukung 02 sebesar 50 persen. Memilih pasif 40 persen dan 10 persen berani memilih kubu lainnya," terangnya.

Kendati begitu, polisi membantah bahwa penyelidikan kasus bankeu berkaitan dengan pemilu. 

"Tidak ada (kaitan dengan pemilu 2024), ya pasti setiap adanya laporan warga ditindaklanjuti untuk mengklarifikasi benar atau tidaknya. Kalau benar harus tanggung jawab. Jadi misal tidak melakukan (kades) jangan takut," ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jateng Kombes Dwi Subagio saat dikonfirmasi Tribun, Jumat (22/3/2024).

Polisi mulai melakukan pemeriksaan pelaksanaan dana bankeu sejak Mei 2023.  Bankeu yang diselidiki selama kurun waktu tahun 2020, 2021 dan 2022.

Bantuan pada 2020 sebesar Rp1 triliun yang  tersebar sebanyak 5.376 titik di seluruh Jawa Tengah. Pada tahun tersebut, Wonogiri mendapatkan jatah Rp30 miliar untuk sebanyak 228 titik,  Kabupaten Karanganyar Rp36 miliar untuk 188 titik, dan Kabupaten Klaten Rp65 miliar untuk  306 titik.

Tahun 2021, total bantuan sebesar Rp2 triliun tersebar di 7.809 titik di Jateng. Khusus di tiga kabupaten meliputi Wonogiri mendapatkan sebesar Rp 47 miliar tersebar di 441 titik. Berikutnya di Karanganyar Rp43 miliar untuk 271 titik dan Klaten Rp79 miliar untuk 440 titik.

Selanjutnya, pada 2022 total bantuan Rp1,7 triliun yang  tersebar di 12.726 titik se-Jateng. Wonogiri mendapatkan sebesar Rp43 miliar untuk 441 titik, Karanganyar Rp82 miliar untuk 555 titik dan Klaten Rp82 miliar.

"Proses penyelidikan bankeu sampai sekarang tetap berjalan. Belum mengerucut (tersangka), kami sekedar masih melakukan klarifikasi. Sementara ada 15 saksi yang telah diperiksa," imbuh Dwi.

Ia juga membantah pengungkapan kasus bankeu bagian dari mengintimidasi para kades. Sebaliknya, penyelidikan tersebut murni kegiatan dalam rangka untuk mencari kebenaran sekaligus mendukung program pemerintah agar dana bankeu jangan sampai diselewengkan.  

"Tidak ada intimidasi , tidak mendesak (Kades) harus A dan B, atau segala macam. (kades merasa  diintimidasi) itu hanya persepsi saja. Prinsipnya ketika tidak merasa melakukan pelanggaran jangan takut sampaikan apa adanya," tuturnya.

Koordinator Juru Bicara Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo Gibran Jawa Tengah Sriyanto Saputro saat ditemui di gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (28/3/2024). Ia menyebut, tak tahu menahu soal intimidasi kades untuk pengerahan pemenangan pasangan 02.

Utang Dua Pemilu

Koordinator Juru Bicara Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo Gibran Jawa Tengah Sriyanto Saputro membantah adanya pengerahan kades untuk pemenangan pasangan 02 di Jateng. Ia menilai, wajar dalam politik ada pihak-pihak yang menuding hal tersebut.

Namun faktanya, lanjut dia, pemilu 2024 merupakan pemilu paling transparan sepanjang sejarah.

Indikatornya, penghitungan suara dilakukan dari tingkat bawah, prosesnya dapat dipantau lewat live streaming sehingga setiap orang bisa menyaksikan, dan setiap TPS ada pengawasnya.

"Mengapa disebut kecurangan di pilpres saja sedangkan pilegnya lancar-lancar saja. Padahal itu satu kesatuan, prosesnya dilakukan bersama," katanya saat ditemui Tribun di gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (28/3/2024).

Begitupun soal adanya intimidasi kades lewat panggilan polisi, kata dia, dalam politik satu isu bisa dikaitkan dengan isu lainnya padahal satu sama  lainnya adalah hal berbeda.

Di samping  itu, adapun dugaan kejadian konsolidasi kades di Temanggung untuk pemenangan paslon 02, pihaknya tidak tahu menahu. Sriyanto beralasan, tim relawannya banyak sekali.

"Semisal digoreng ya wajar. Yang jelas, kami tidak mengurus sampai ke ranah situ. Kami Gerindra Jateng fokus dari amunisi dan energi kita untuk bergerak menjadikan Prabowo sebagai Presiden, dan utang pemilu 2014 dan 2019 terbayarkan di pemilu 2024. Kami menang 53 persen di Jateng," ujarnya yang juga Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Tengah ini.

Kades Rentan Dipolitisasi

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), lembaga yang fokus melakukan pengawasan penyelenggaraan  pemilu menilai, kades rentan dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk terlibat politik praktis.

Sayangnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kinerja buruk atau underperform sehingga perannya jauh dari yang diharapkan.

"Kepala desa bisa dipolitisir baik memanfaatkan diri sendirinya atau oleh kelompok politik tertentu untuk terlibat dalam politik praktis. Sebab, kepala desa bisa memiliki peran sangat besar karena posisinya cukup terpandang di politik lokal," ungkap Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz saat dihubungi Tribun,  Selasa (26/3/2024).

Kahfi menjelaskan, kekuatan politik merebutkan para kades karena kades memiliki dua fungsi yakni kades dianggap punya pengaruh dalam sikap-sikap politik. Berikutnya, kades merupakan figur yang didengar oleh masyarakat desa.

"Tak heran, sikap politik kepala desa akan sangat mempengaruhi masyarakat di desa tersebut," ucapnya.

Pengaruh Kedua,lanjut dia, kepala desa memiliki kewenangan administratif artinya banyak urusan pemerintahan desa dikelola penuh oleh kepala desa termasuk soal penentuan dana bantuan sosial (Bansos), bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan lainnya.

Kepala desa memiliki celah untuk mengintimidasi kepada penerima bantuan ketika warganya memilih paslon lain atau mampu mengerahkan masyarakat desa untuk memilih pasangan presiden tertentu.

Warga tentu sulit menolak karena bisa jadi ketika tidak memilih paslon sesuai arahan kades maka bisa dicoret dari penerima bantuan.

"Meskipun itu masih dugaan yang harus dibuktikan baik di forum peradilan Bawaslu hingga mungkin ke Mahkamah Konsitusi (MK)," beber Kahfi.

Meski demikian, ia menyakini, pengerahan kepala desa untuk memilih paslon tertentu memang benar-benar terjadi.

Hal itu sulit untuk dinaifkan atau satu hal yang sulit untuk tidak dipercaya.

Permasalahannya, apakah pengerahan kades tersebut termasuk gerakan yang Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), Kahfi merinci, terstruktur artinya melibatkan aparat negara baik itu aparatur sipil maupun non sipil. 

Dari segi sistematis, gerakan itu tersistem menjadi koneksi antara satu aspek dengan aspek yang lain.

Dan, masif dilakukan tidak hanya di satu daerah, artinya pengerahan tidak hanya Jateng melainkan di seluruh daerah di Indonesia atau setidaknya 50 persen daerah di Indonesia sehingga berpengaruh terhadap perolehan suara.

"Ketika persoalan ini dibawa ke MK, sayangnya MK lebih fokus melihat persoalan selisih suara. Namun, persoalan pra-pemilihan jarang dilirik MK seperti  pengerahan kades, politik uang, dan politisasi bansos," ujarnya.

Ia mengatakan, pengerahan kepala desa untuk mendukung pasangan Capres-cawapres tertentu  sebenarnya memungkinkan  dibuktikan bila ada minimal dua alat bukti.

Dua bukti tersebut semisal video , saksi yang hadir, konten obrolan berupa perintah, larangan, dan batasan yang dilakukan aparat terhadap kepala desa yang berkaitan dengan dukungan terhadap paslon atau ketidaksukaan ke paslon tertentu. 

Namun, hal itu butuh keberanian dari para kades itu sendiri.

Hanya saja, Kades mungkin saja ada masalah hukum yang menyandera mereka sehingga menyulitkan posisi tawar sehingga berujung tak berani speak up maupun menolak ajakan. 

"Dana desa juga rawan dimaladministrasikan oleh aparat. Artinya, kades yang tidak mengerti cara mengelola dana  desa secara transparan karena kurangnya edukasi sangat mudah dikasuskan," ungkapnya.

Bawaslu Underperform

Kahfi menyayangkan, di tengah adanya dugaan pelanggaran  para kades untuk mendukung pasangan tertentu ternyata dibarengi dengan kinerja Bawaslu yang jauh dari yang diharapkan.

Hal itu bisa dilihat dari lemahnya penindakan Bawaslu di kasus konsolidasi Kades untuk pasangan 02 di Temanggung, Jateng. Bahkan, di tingkat kasus lebih tinggi semisal pelanggaran yang dilakukan Cawapres kala itu, Gibran Rakabuming Raka yang membagikan susu gratis saat Car Free Day (CFD) di Jakarta yang bukan tempat atau forum yang dibolehkan untuk melakukan kampanye.

Alih-alih memberikan hukuman kepada Gibran, Bawaslu hanya menyatakan Gibran bersalah tetapi kemudian sanksinya diserahkan kepada Gubernur Jakarta dengan dalih CFD adalah fasilitas Pemprov yang berujung tidak ada hukuman sama sekali.

"Sebenarnya banyak sekali masalah yang dibiarkan Bawaslu sehingga kami bisa katakan Bawaslu itu tidak profesional sama sekali. Mereka underperform," kata  Kahfi menegaskan.

Terpisah, Koordinator Divisi Humas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah, Sosiawan mengatakan,
secara administratif wewenang Bawaslu sebenarnya sudah cukup powerful karena rekomendasi atau keputusan dari Bawaslu bersifat mutlak dan harus ditindaklanjuti oleh KPU.

Namun ketika ada masalah pidana pemilu di antaranya politik uang dan netralitas aparat, maka Bawaslu memiliki keterbatasan.

Sebab, lanjut dia, ada aturan yang mengikat Bawaslu ketika persoalan pidana harus membawanya ke sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) yang anggotanya ada Kejaksaan dan Kepolisian.

"Ada salah satu (lembaga) saja yang tidak setuju atau menolak proses hukumnya maka Bawaslu tidak bisa memproses pelanggaran tersebut," kata dia, Kamis (28/3/2024).

Temuan Pelanggaran Netralitas Kades 

Bawaslu Jateng mencatat terdapat 21 kasus pelanggaran netralitas yang berkaitan dengan kepala desa, perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Program Keluarga Harapan (PKH), dan pemberdaya masyarakat  desa selama pemilu 2024.

Dari 21 kasus tersebut sebanyak delapan (8) kasus yang khusus menjerat kepala desa meliputi kepala desa menyalahgunakan wewenangnya dengan terlibat dalam proses verifikasi faktual bakal calon peserta pemilu sebanyak dua (2) kasus di kabupaten Magelang.

Berikutnya kepala desa terlibat dalam kampanye peserta pemilu satu (1) kasus di Kabupaten Jepara. Kepala desa tidak netral dalam menjalankan wewenang, hak dan kewajibannya satu (1) kasus di Kabupaten Magelang. 

Kepala desa mendukung peserta pemilu di media sosial ada dua (2) kasus masing-masing di Kabupaten Blora dan Purworejo. Kepala desa masuk dalam kepengurusan partai politik ada dua (2) kasus di Banjarnegara dan Purworejo.

"Kami mengirimkan rekomendasi ke Bupati setempat untuk pemberian sanksi. Sejauh ini sanski yang diberikan hanya berupa teguran,  semisal di Purworejo Bupati memberikan surat teguran agar kades tidak melakukan pelanggaran netralitas," terang Sosiawan.

Ia melanjutkan, adanya dugaan pelanggaran kepala desa dalam pemilu bentuk laporannya hanya sporadis saja. 

Imbasnya, pihaknya kesulitan untuk membuktikannya karena harus memastikan adanya instruksi atau inisiatif masing-masing kades. 

Terlebih, ketika harus membuktikan pelanggaran tersebut TSM maka sangat kesulitan.

"Bentuk dukungan kades seringkali juga sumir. Semisal kode jari tangan. Kemudian  bukti-bukti video (contoh video tegak lurus Jokowi) akhirnya mentah semua video tersebut. Karena bentuk ketidaknetralan dukungan yang dianggap menguntungkan paslon tertentu tidak ada sanksi hukum yang spesifik atau tegas," ungkapnya.

Baca juga: Inilah 8 Saksi Ahli Prabowo-Gibran, Ada Eks Direktur TPN Ganjar, Eks Wamenkumham hingga Qodari

Ia menambahkan, kendala lainnya dalam mengungkap dugaan pelanggaran netralitas kades yakni saat melakukan pembuktian dari segi formal dan materil.

Bukti materil berupa bentuk pelanggarannya sedangkan formalnya berupa instruksi, perintah secara langsung, atau surat edaran.

"Adanya bukti awal sebatas itu (foto/video) biasanya susah. berikutnya ketika kami klarifikasi seringkali menemukan kesulitan karena keterangan yang diberikan terduga berupa bantahan seperti tindakan tersebut merupakan spontanitas, tidak ada intruksi dan tidak ada tekanan  dari manapun," imbuhnya. (Iwn)

Berita Terkini