Wawancara Khusus

Wawancara Masinton Pasaribu Soal Pilkada Serentak 2024 : Khawatir Konfigurasi Pilkada Mirip Pilpres

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu, beberapa waktu lalu.

Pelibatan aparatur negara, penggunaan anggaran yang sangat besar di topang APBN gitu ya. Untuk program-program seperti Bansos apa segala macem yang motifnya politik. Kemudian hukum digunakan untuk alat politik.

Lakukan tekanan. Iya, tekanan, ajakan, maupun sifatnya menciptakan intimidasi. Nah, artinya kalau itu terjadi di daerah, dalam Pilkada nanti, itu akan semakin memerosotkan kualitas demokrasi dan pemilu kita.

Dan ini akan menjadi bom waktu nantinya. Artinya apa kita nggak boleh, biar itu pemilu, sebagai sarana masyarakat sipil, tidak perlu ada campur tangan negara di sana untuk melakukan proses intervensi pilihan-pilihan masyarakat.

Tadi ya diarahkan ke A, B, melalui perangkat-perangkat negara gitu ya. Baik itu lembaganya maupun aparaturnya. Serta anggaran, di anggaran-anggaran program-program pemerintah yang dibiayai pake duit rakyat.

Kemudian diarahkan untuk memenangkan kontestan gitu ya. Nah, itu menurut saya akan semakin menampakkan kualitas demokrasi kita semakin merosot.

Kemidian saya berangkat dari pengalaman politik ini dulu ya. Apa? Peristiwa, apa ya? Pengalaman politik sebelumnya lah. Pilkada-pilkada sebelumnya. Dia tidak linear saya katakan itu tadi.

Umpamanya yang didukung oleh pemerintah di pusat dengan kandidat di daerah, gak otomatis menang tuh. Gak otomatis menang. Ambil contoh, Contohnya Jakarta lah.

Iya kan, pada saat Pilkada 2017. Presiden kan maunya pada saat itu. Basuki Cahaya Purnama, tapi kalah. Kemudian di Sumut juga begitu. Ketika Mas Djarot. Di Jawa Barat juga begitu. Artinya tuh, dia tidak otomatis.

Begitu pun ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintah. Ketika pada masa Pak SBY, contohnya. Nah, kader-kader PDI Perjuangan yang ikut dalam kontestan Pilkada, baik gubernur, bupati, wali kota, mampu tuh memenangkan berbagai daerah begitu loh.

Meskipun yang berkuasa pada waktu itu Pak SBY. Artinya presentasinya malah tinggi tuh. Pada saat itu hampir 40 persen lebih kita memenangkan calon kepala daerah yang kita usung dari kader sendiri, mungkin yang kita dukung.

Artinya apa? Bahwa itu tadi, karakteristik dinamika politik di masing-masing lokal, di masing-masing daerah tuh berbeda-beda.

Nah, jadi saya kasih gambaran tadi. PDI Perjuangan pernah di luar pemerintah, berpisah Pilkada, memenangkan banyak Pilkada.

Ketika PDIP berkuasa, belum tentu juga kadernya menang tetapi dalam kondisi ketika alat-alat negara relatif tidak cawe-cawe, tidak digunakan. Kalau dulu ada MK, Mahkamah Kakak. Sekarang ada Mahkamah Adik, kan artinya situasinya mirip aja, Bang?

Ya sekarang KPU-nya juga kemudian ikut-ikutan untuk mengubah itu juga.

Berarti kan sebenarnya indikasi ini mulai muncul?

Halaman
123

Berita Terkini