Pembentukan tim ini sudah ada sejak Mei 2024, awal terbentuknya adalah permasalahan TBC tidak hanya pada masyarakat bukan pada persolan kesehatan, tapi ada efek sosial ekonomi yang terdampak pada pasien dan lingkungannya.
Banyak terjadi pasien TBC akhirnya tidak produktif, dikucilkan, diskriminasi lingkungan kerja, hingga pemecatan hubungan kerja oleh tempat kerja.
Hal ini berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi keluarga pasien.
"Jadi selama ini adalah timbulnya masalah lainnya."
"Bukan saat selesai minum obat terus sembuh, tapi banyak permasalahan yang menyangkut pasien," katanya.
Oleh karenanya butuh peran banyak pihak, selain pengobatan secara kesehatan juga penting dalam edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat umum.
"Implementasi awal lebih pada penanganan sosial ekonomi."
"Jadi mulai identifikasi dari masing-masing pasien apakah memang membutuhkan dalam mendukung pasien itu agar selesai pengobatannya," katanya.
Anggun menyampaikan, penanganan preventif TBC ini lebih banyak pada peran edukasi lintas sektor, misal edukasi yang memiliki kelompok binaan, kelompok sasaran, dengan minimal ada edukasi.
Sedangkan kuratifnya ada pada pasien yang membutuhkan bantuan.
Untuk fasilitas kesehatan sudah ada di semua rumah sakit, Puskesmas dan menyasar klinik swasta juga.
Sudah ada 130 klinik swasta yang aktif dalam pengobatan TBC.
Termasuk layanan jamkes BPJS berkomitmen dalam penanganan TBC.
Baca juga: Harga Emas Antam di Semarang Hari Ini Rabu 24 Juli 2024, Naik Rp 2.000, Ini Daftar Lengkapnya
Baca juga: LPM UIN Walisongo Semarang Benchmarking ke LPM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Akreditasi
"Jadi penanganan tidak hanya di rumah sakit, misal yang tidak ada komorbid atau penyulit dia cukup pengobatan di Puskesmas dan klinik ini kan lebih dekat dari akses pengobatan dan rumah mereka," katanya.
Pihaknya menyampaikan, untuk kondisi kasus TBC di kota Semarang ada sekira 3.400 kasus baru di kota Semarang.