Aksi tak senonoh tersebut sempat membuat korban mengalami traumatis.
Selama menjalani sisa masa magang, dia pun tak berani kembali ke ruang mediasi sendiri.
Korban tidak berani menceritakan kejadian tersebut kepada teman magang.
Setelah kejadian tersebut, korban sempat meminta agar jadwal piket di ruang mediasi, setidaknya diisi dua mahasiswa magang.
Namun usulan itu ditolak pembina magang dan tidak mengizinkannya dengan sejumlah pertimbangan.
Korban baru berani bercerita kepada kelompoknya selang satu minggu kejadian.
Di luar dugaan, pengakuannya tersebut diakui mahasiswi lain yang mengalami perlakuan yang sama oleh oknum S.
Perbuatan S diduga tidak hanya sekali, bahkan hingga tiga mahasiswi yang menjadi korban.
Setelah masa magang berakhir, mahasiswi ini pun menceritakan kejadian tak senonoh yang dialami mereka kepada wakil ketua hakim PN setempat.
Selang beberapa hari, tiga mahasiswa magang itu diundang PA Kudus untuk menandatangi surat pernyataan tanpa diketahui isi suratnya.
Rektor IAIN Kudus, Abdurrahman Kasdi saat dikonfirmasi menyampaikan sudah mendengar desas-desus terkait informasi dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswanya.
Pihaknya membenarkan bahwa terduga pelaku S merupakan tenaga kependidikan di lingkungan IAIN Kudus.
"Terkait dengan aktivitas sebagai freelancer mediator non hakim, dilakukan di luar tugas resmi sebagai pegawai IAIN Kudus tanpa adanya surat tugas dari institusi," tutur Abdurrahman.
Rektor mengaku sudah berkoordinasi Pengadilan Agama dalam upaya meluruskan permasalahan.
Sebagai tindak lanjutnya, pihaknya membentuk Mahkamah Etik untuk melakukan proses investigasi menyelesaikan permasalahan ini.
Mahkamah Etik ini terdiri dari perwakilan Pimpinan, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) serta Tim Kerja Organisasi Kemahasiswaan dan Hukum.
"Kami berkomitmen untuk mendukung korban dengan memberikan pendampingan psikologis dan hukum selama proses pengaduan berlangsung," sebut Abdurrahman. (Rad)