“Mungkin itu salah bahasa tapi kenyataan tertulisnya kan demikian,” katanya merujuk pada surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) perihal penutupan Prodi Anestesi.
Menurut Prof. Djohansjah, dalam kasus ini pihak rumah sakit itu hanya menjadi tempat tumpangan saja dari proses pembelajaran. Harusnya, kata dia, kemenkes tidak berhak untuk menutup Prodi.
“Paling-paling ya mengusir, jangan di sini. Ya itu boleh dan itu haknya (kemenkes). Sehingga itu yang saya anggap tindakan yang bukan wewenangnya, bukan haknya,” ujarnya.
dr Djoko Widyarto yang menjabat sebagai ketua Majelis Kehormatan Etik Kehormatan IDI Wilayah Jawa Tengah, meminta agar pengertian mengenai perundungan ini dapat diperjelas.
Sejauh ini masih terdapat perbedaan pada pehamanan soal perundungan sepeti pada intruksi Menkes, Permendikbud hingga Fatwa MKEK. Ia juga mengusulkan di masa depan perlu diperkuat lagi kurikulum mengenai modul etika di semua fakultas kedokteran.
“Dasar dasar etika kedokteran itu harus ditanamkan, tidak hanya sekadar memberikan pelajaran tetapi harus bisa memberikan contoh di lapangan sehingga peserta didik itu paham tentang etika kedokteran,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser mengatakan kesimpulan pertama adalah perundungan dalam seluruh proses pendidikan kedokteran, baik di pendidikan kedokteran maupun pendidikan dokter spesialis, merupakan musuh bersama.
“Bulliying sebagai perusak solidraitas kesejawatan, kohesi anggota kedokteran dan kami yakini bulliying ini adalah masalah pribadi maka harus diselesaikan dengan cara pribadi,” katanya.
Kedua, kata Nasser, perlu adanya semangat untuk mawas diri dan bersatu menghadapi bullying atau orang orang yang bermaksud tidak baik terhadap profesi kedokteran. “Mari kita jaga integritas, martabat dan muruah yang hendak diluluhlantakan oleh pihak tertentu pada profesi kita.” ujarnya.
Selanjutnya, Nasser menyimpulkan untuk menyiapkan aksi legal prosedural terhadap upaya atau langkah yang hendak mengobrak-abrik melalui kegiatan yang sistematis dan terencana terhadap profesi kedokteran.
“Kita ingin mendorong semua pihak untuk menyebarkan sikap anti premanisme birokrasi karena ini berbahaya. Ini harus diperjuangkan hingga pemerintahan baru nanti. Di sini kita harus menonjolkannya dengan mengedepankan budaya ilmiah, bukan dengan budaya kekuasaan,” katanya. (*)