TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Dua putri Presiden Kedua RI Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana (Tutut) dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek), meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan ayah mereka selama memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Permintaan maaf tersebut disampaikan dalam forum silaturahmi antara pimpinan MPR RI dan keluarga Soeharto di Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (28/9).
"Kami juga mohon maaf kalau selama ini Bapak (Soeharto—Red) ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan saat memimpin," kata Tutut.
Ia menambahkan, tidak ada manusia yang selalu benar, termasuk ayahnya yang menjabat sebagai presiden terlama di Indonesia.
Meski demikian, Tutut berharap agar kontribusi Soeharto selama masa kepemimpinannya tetap dihargai.
Pada kesempatan yang sama, Titiek menyampaikan terima kasih kepada pimpinan MPR RI yang telah mencabut nama ayahnya dari Ketetapan (TAP) MPR RI Nomor 11 Tahun 1999.
Ia juga menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan Soeharto selama masa kepemimpinannya.
"Untuk itu kami, tadi disampaikan juga oleh Mba Tutut, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya," ujar Titiek.
Dalam acara tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR, Siti Fauziah, menjelaskan bahwa perintah TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 terkait penegakan hukum dugaan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebut nama Soeharto telah dilaksanakan.
Ia menyebutkan, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah memberikan kepastian hukum kepada Soeharto melalui Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKPPP) yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung.
Kemunduran
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Centre for Literary and Cultural Studies (CLCS), Dr Dhoni Zustiyantoro menilai, keputusan MPR mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) sebagai kemunduran.
“Meski secara pribadi dan sebagai rakyat bisa memaafkan Soeharto, sebagai personal, namun secara konstitusional, penyebutan nama Soeharto merupakan langkah progresif dan produk sejarah yang patut untuk dipertahankan,” kata Dhoni, dalam rilis yang diterima Tribun Jateng, Sabtu (29/9).
“Sejalan dengan itu, penghapusan namanya juga merupakan langkah mundur bagi perjuangan menegakkan cita-cita reformasi,” lanjut dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut.
Dhoni menyatakan, penyebutan nama Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 merupakan bagian dari tuntutan reformasi dan merupakan produk sejarah. Ketetapan tersebut, yang disahkan pada masa transisi setelah Soeharto lengser, mencerminkan upaya bangsa untuk melawan KKN, yang meluas selama masa kepemimpinannya.