Berita Ekonomi

Indonesia Deflasi 5 Bulan Terakhir, Zulhas Pun Bingung

Editor: muslimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Calon Bupati Semarang, Ngesti Nugraha membagikan sayuran bersama warga yang memadati sekitar bak mobil pikap berisi sayuran di Tuntang, Kabupaten Semarang, Jumat (4/10/2024).

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Terjadinya deflasi selama 5 bulan berturut-turut di Indonesia sejak Mei hingga September 2024 memicu kekhawatiran baru sejumlah kalangan, berkait dengan dampaknya terhadap perekonomian nasional.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi yang terjadi saat ini disebabkan oleh penurunan harga berbagai komoditas pangan kebuthan masyarakat.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menilai, harga-harga pangan yang saat ini sudah murah dikhawatirkan membuat petani dan pedagang mengalami kebangkrutan.

"Kalau saya bilang terlalu murah, pasti saya di-bully lagi. Cabai terlalu murah, misalkan patokan kami Rp 40.000/kg, di pasar cuma Rp 15.000/kg, itu langsung bangkrut petaninya, gitu loh. Seperti cabai, bawang murah sekali ya, termasuk saya kira juga telur," katanya, di Komplek Istana kepresidenan, Jumat (4/10).

Baca juga: Pemerintah Bantah Daya Beli Masyarakat Melemah Meski Deflasi 5 Bulan Beruntun

Menurut dia, mengatasi deflasi tidak seperti mengatasi inflasi. Apabila terjadi inflasi, maka pemerintah daerah bisa melakukan operasi menggunakan anggaran untuk mengendalikannya.

"Terus terang memang kalau inflasi itu (harga-Red) naik, kami cepat bisa atasi sebetulnya, karena ada bupati, ada wali kota, ada anggaran APBD dari dana yang tidak terduga kan (untuk menurunkan harga lewat operasi pasar-Red), bisa, bisa itu. (Kalau-Red) terlalu murah ini kan kami belum ada jalan untuk membantunya, kan gitu, belum ada," paparnya.

Zulhas menuturkan, pihaknya akan mengkaji lebih dalam mengenai penurunan harga itu untuk menentukan apakah disebabkan oleh suplai yang melimpah atau penurunan daya beli masyarakat.

"Apa karena suplainya banyak sekali sehingga harganya terlalu murah, atau daya beli yang turun? Nanti kami lihat, kami kaji lebih lanjut," ujarnya.

Kekhawatiran juga dirasakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani. Menurut dia, fenomena deflasi tak bisa hanya dilihat dari satu sisi, tapi perlu juga dilihat pengaruhnya terhadap daya beli.

"Saya rasa kita enggak bisa lihat deflasi sebagai as is deflasi saja. Jadi jelas ini tadi disampaikan ada intervensi dari pemerintah, karena dari volatilitas harga pangan ini yang jadi masalah utama," ucapnya, saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (2/10).

"Yang kami khawatirkan adalah, kan ini semua pengaruh juga ke daya beli, ini yang sebenarnya jadi kunci utama," sambungnya.

Sesuai harapan

Sementara, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan, Indonesia mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut, terutama disebabkan oleh penurunan harga pangan.

Ia menyebut, perkembangan itu sebagai hal yang posi karena dapat meningkatkan daya beli masyarakat.

"Jadi kalau deflasi ini 5 bulan terutama dikontribusikan oleh penurunan harga pangan, itu menurut saya merupakan suatu perkembangan yang positif, karena ini akan sangat menentukan daya beli masyarakat," tuturnya, ditemui di Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (4/10).

Menurut dia, masyarakat konsumen, terutama kelompok menengah ke bawah, akan sangat diuntungkan akan hal itu. Pengeluaran mereka untuk makanan adalah yang paling besar, sehingga penurunan harga pangan akan sangat menguntungkan.

Sri Mulyani menekankan, penurunan harga pangan adalah yang diharapkan pemerintah. Ia berharap harga pangan dapat stabil di tingkat yang rendah.

"Jadi kalau saya lihat dari sisi perkembangan inflasi atau tadi disebutkan deflasi 5 bulan berturut-turut, di satu sisi penurunan yang berasal dari volatile food, itu adalah memang hal yang kita harapkan bisa menciptakan level harga makanan di level yang stabil rendah," bebernya.

"Itu baik untuk konsumen di Indonesia, yang terutama menengah bawah, (karena-Red) mayoritas belanjanya adalah untuk makanan," sambungnya.

Sri Mulyani pun membantah anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia menurun berkait dengan terjadinya deflasi selama 5 bulan terakhir. Ia menjelaskan, untuk menilai daya beli, perlu dilihat dari berbagai indikator.

"Indikator yang paling frequent yang kami lihat kan seperti consumer confidence, tapi itu mungkin basisnya di perkotaan," jelasnya.

Menurut dia, jika dilihat dari berbagai indeks, daya beli masyarakat masih tergolong tinggi, dan aktivitas masyarakat tetap stabil.

"Apakah indeks kepercayaan konsumen atau indeks retail atau indeks purchasing, kami melihat masih pada level yang stabil dan tinggi. Artinya tidak ada koreksi yang tajam," terangnya. (Tribunnews/Endrapta Ibrahim Pramudhiaz)

Berita Terkini