"Kita tidak memberikan metode atau media, biarkan guru berinovasi sendiri. Plan, Do, See, tiga tahapan siklus sampai menghasilkan pembelajaran numerasi yang sip," jelasnya.
Tantangan muncul di tengah pelaksanaan program, terutama karena ini adalah hal baru bagi kepala sekolah dan guru.
"Kalau tantangan mungkin karena ini hal yang baru, jadi kadang bingung ini mau perbaikannya seperti apa," kata Lia.
Namun, ia optimis, "Lama-lama asyik juga. Awalnya karena hal baru tentu tidak semudah itu, tapi ternyata setelah dilalui, kepala sekolah dan guru itu terbiasa."
Normalia juga menyoroti tantangan waktu, di mana kepala sekolah sering kali terikat dengan jadwal lain
"Saya salut Kombel Kaliwungu Selatan dan Singorojo ini termasuk solid juga. Kalau memang waktu ini tidak bisa, diganti waktu lain tapi tetap dilaksanakan."
Program ini membawa manfaat bagi profesionalisme guru.
"Tentunya sangat membantu. Dari hasil pendampingan kemarin saya tanya guru-guru, wah ternyata manfaat yang kadang saya tidak terpikirkan untuk mau mepraktikan ini, eh dari guru lain ternyata ada jadi kita jadi berkolaborasi ada hasilnya," ujarnya.
Dalam hal refleksi, Normalia menjelaskan bahwa guru awalnya merasa malu untuk merefleksikan diri.
Namun, setelah siklus kedua dan ketiga, mereka mulai terbiasa melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran mereka.
"Nah, ini membantu guru juga dalam nanti pembelajaran sehari-harinya di kelas," tambahnya.
Tantangan lain yang dihadapi adalah pemahaman bahwa pembelajaran numerasi tidak hanya terbatas pada Matematika.
"Dengan lesson study, guru memiliki mindset bahwa numerasi itu mudah dilakukan dan bisa diaplikasikan di pelajaran lain," ungkapnya.
Kolaborasi antara kepala sekolah dan guru menjadi sangat penting dalam program ini.
"Sangat penting sekali, kepala sekolah harus terlibat karena yang tanggung jawab nilai literasi numerasi itu bukan hanya guru saja, kepala sekolah juga bertanggung jawab," tegasnya.