TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO - Warga Dusun Pagerotan, Desa Pagerejo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo masih turun temurun melestarikan tradisi sadranan atau tenongan.
Tradisi sadranan di Dusun Pagerotan rutin dilaksanakan setiap 70 hari sekali pada hari Jumat Kliwon. Sadranan kali ini bertepatan dengan merdi Dusun Pagerotan sehingga dibarengkan dengan berbagai rangkaian acara.
Siang tadi, warga Dusun Pagerotan berkumpul di sebuah komplek makam leluhur setempat yang dikenal dengan nama Makam Sikramat.
Setiap kepala keluarga di Dusun Pagerotan datang ke Makam Sikramat dengan membawa tenong atau wadah yang berisi makanan.
Setidaknya kurang lebih 300 tenong berisi makanan dijejer di pelataran makam leluhur dusun setempat.
Baca juga: Tradisi Rakanan - Tenongan Perekat Dusun Giyanti Wonosobo, Digelar Jumat Kliwon Usai 1 Muharram
Baca juga: Wonosobo Posisi ke-26 Peredaran Narkoba Tertinggi di Jateng, BNN: Meningkat Dibandingkan Sebelumnya
Acara diawali dengan sambutan Kepala Desa Pagerejo, dilanjutkan dengan doa bersama, dan diakhiri dengan makan bersama-sama.
Samsul Mudasim selaku pegiat sejarah di Desa Pagerejo menjelaskan, tenong yang dibawa berisi berbagai macam isian makanan.
"Isi makanan yang dibawa ada beberapa macam mulai dari nasi golong, udang, serundeng, dan sayuran," ungkapnya.
Makanan itu wajib ada saat tradisi sadranan. Bukan tanpa alasan, setiap makanan tersebut memiliki makna tertentu.
Dimulai dari nasi golong sebagai simbol persatuan. Samsul menjelaskan pada zaman penjajahan satu hal yang tidak terkalahkan adalah ketika saling merapatkan barisan dan tidak tercerai berai. Hal itu digambarkan seperti nasi golong.
Sementara udang sendiri melambangkan dari sebuah tindakan jika seseorang sudah berani akan sesuatu jangan sekali-kali mundur seperti jalannya udang, namun jika tidak berani jangan berani melakukan tindakan sesuatu.
Serundeng yang terbuat dari kelapa bermakna seseorang harus jadi orang berguna seperti tanaman kelapa yang multifungsi dari akar hingga buahnya.
Terakhir sayuran yang bermakna rasa syukur warga dari hasil bumi yang ditanam di desanya.
Tradisi sadranan secara umum mempunyai makna ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang diberikan.
Selain itu juga didalamnya terkandung ajarkan untuk saling gotong-royong sehingga tercipta kebersamaan antar warga.
Tradisi sadranan digelar di komplek Makam Sikramat juga punya alasan tersendiri. Di Makam Sikramat ini terdapat sebuah makam yang sangat disegani masyarakat.
Dipercaya warga setempat salah satu makam di situ merupakan makam leluhur yakni Mbah Sunan Puger atau Pangeran Sundoro yang diyakini Sultan Hamengkubuwono 2.
"Kami anggap leluhur kami Mbah Sunan Puger beliau orang sangat berjasa di Dusun Pagerotan beliau berasal di keraton Yogyakarta. Beliau diberi nama Sundoro karena lahir dan menghabiskan masa kecilnya di lereng Gunung Sindoro," jelasnya.
Beliau dianggap orang yang berjasa dalam mengusir para penjajah serta mensyiarkan agama Islam di tempat ini.
"Beliau juga mewariskan kesenian dan budaya seperti kuda lumping, kesenian wayang, tari lengger, dan juga tradisi sadranan ini," imbuhnya.
Banyak bukti sejarah di Dusun Pagerotan, Desa Pagerejo yang dipercaya masyarakat setempat merupakan peninggalan Pangeran Sundoro termasuk tradisi sadranan yang terus dijaga dan dilestarikan. (ima)