Oleh karena itu, Mukaromah akhirnya memilih kembali pulang ke kampungnya Timbulsloko. Dia akan tinggal di tempat itu selama dua hingga tiga bulan. Dia lantas kembali ke tempat relokasi lalu tinggal selama dua minggu. “Kalau uang habis baru kembali lagi ke Timbulsloko,” ujar Mukaromah kepada Tribun, Selasa (18/1/2025).
Di Timbulsloko, dia bekerja sebagai perempuan nelayan tangkap dengan penghasilan bersih Rp 20 ribu-Rp30 ribu perhari.
Selain itu, dia mendapatkan penghasilan tambahan dengan membuka warung kelontong dan usaha jualan es batu. Mukaromah membanting tulang sendiri lantaran suaminya Yuhri (73) tidak bisa bekerja akibat sakit pengapuran tulang lutut. Adapun Anak tunggalnya sudah memiliki rumah tangga sendiri yang tinggal di Genuk, Kota Semarang.
“Di tempat relokasi tidak bisa bekerja. Di sini saya bisa mencari ikan,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, warga pesisir yang bertahan di kampung mereka yang tenggelam karena tidak ada pilihan lain.
Pilihan relokasi bagi mereka hanya menggiring pada jebakan utang baru karena pemerintah tidak memenuhi sepenuhnya kebutuhan warga ketika mereka melakukan relokasi. Mereka akhirnya hanya bisa bertahan hidup sesuai dengan kemampuan mereka dengan cara beralih pekerjaan. Mereka juga berusaha meminta kebaikan dari negara untuk lebih peduli. “Meskipun dalam poin ini masih ada PR (pekerjaan rumah) besar,” terangnya.
Kerusakan Buatan Manusia dan Solusi Semu Pemerintah
Merujuk data KIARA, ada sebanyak 1.148 desa pesisir di Indonesia tenggelam pada tahun 2020. Adapun Jawa Tengah menjadi wilayah yang paling terdampak. Kondisi itu dapat dilihat di beberapa desa di Kabupaten Demak meliputi Bedono, Timbulsloko, Surodadi, Morodemak, dan Tambakbulusan. Dari kondisi tersebut, lebih dari 800 hektar daratan berdampak dan lebih dari 6.000 Kepala Keluarga (KK) dengan rumah-rumah mereka terendam air secara permanen. Khusus untuk kawasan Desa Timbulsloko kini telah kehilangan lebih dari 101 hektar daratan dengan setidaknya 500 Kepala Keluarga kehilangan tempat tinggal.
Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Erwin Suryana mengatakan, kondisi desa pesisir di Demak tenggelam dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor pembangunan yang masif di dilakukan di wilayah pesisir maupun wilayah hulu.
Untuk pembangunan wilayah pesisir, kata Erwin, yang paling berdampak adalah pembangunan pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Pembangunan proyek ini mengubah pola arus sehingga mempercepat abrasi di wilayah Kecamatan Sayung.
Pola pembangunan berikutnya yang ikut merusak pesisir yakni pembangunan salah satu bendungan terbesar di Indonesia yakni Bendungan Kedung Ombo yang membentang di wilayah Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali.
Erwin menilai, bendungan ini merusak daerah aliran sungai (DAS) di kali tuntang sektor tengah. Alhasil, volume debit air yang masuk ke wilayah pesisir Demak kian besar.
Satu faktor lainnya yang turut memperparah kondisi pesisir Demak adalah pembangunan kawasan industri yang dibarengi dengan pengambilan air tanah terlalu berlebihan sehingga mempercepat terjadinya proses land subsidence atau penurunan muka tanah.
“Tiga faktor itu yang sebetulnya secara bersamaan bekerja kemudian menggerus wilayah pesisir utara Demak,” paparnya.
Erwin menyebut, penyebab kerusakan di pesisir pantura memang bukan faktor tunggal. Kerusakan di kawasan ini juga bukan semata-mata karena krisis iklim. Namun, faktor-faktor eksternal lebih dominan dalam menyumbang kerusakan.