HALAQAH

Akhlak dan Toleransi dalam Bermasyarakat

Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag. Ketua Umum MUI Kota Semarang yang juga Guru Besar UIN Walisongo

Ditulis oleh Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag. Ketua Umum MUI Kota Semarang yang juga Guru Besar UIN Walisongo
 
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dalam kehidupan bermasyarakat, akhlak dan toleransi ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya menjadi fondasi utama dalam menciptakan harmoni di tengah keberagaman. Di era modern, di mana perbedaan semakin nyata dan kompleks, nilai-nilai ini menentukan apakah masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai atau justru terpecah belah oleh konflik dan prasangka.

Akhlak adalah cerminan karakter seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Ia bukan hanya sekadar sopan santun, tetapi juga mencakup kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Sementara itu, toleransi adalah kesediaan untuk menerima dan menghargai perbedaan, baik dalam hal agama, budaya, suku, maupun pandangan politik. Ketika akhlak dan toleransi berjalan beriringan, masyarakat akan tumbuh menjadi ruang yang inklusif, penuh kasih sayang, dan damai.

Interaksi Sosial

Akhlak yang baik adalah modal utama dalam membangun hubungan sosial. Bayangkan sebuah masyarakat di mana orang-orang saling mencaci, tidak peduli dengan sesama, atau bahkan merugikan orang lain. Pasti kehidupan terasa penuh ketegangan dan ketidaknyamanan. Sebaliknya, ketika setiap individu menjunjung tinggi akhlak mulia, interaksi sosial menjadi lebih harmonis dan penuh kehangatan.

Kita bisa melihat contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Seorang tetangga yang menyapa dengan ramah, menawarkan bantuan saat dibutuhkan, atau menjaga kebersihan lingkungan adalah cerminan dari akhlak yang baik. Hal-hal kecil seperti ini mungkin terlihat sepele, tetapi dampaknya sangat besar dalam membangun lingkungan yang nyaman dan harmonis.

Menjembatani Perbedaan

Di Indonesia, keberagaman bukan sekadar realitas, tetapi juga anugerah. Dengan ratusan suku, bahasa, dan agama yang berbeda, toleransi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Tanpa toleransi, perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan justru bisa berubah menjadi sumber konflik.

Toleransi tidak hanya berarti menerima perbedaan, tetapi juga menghargai dan merayakannya. Misalnya, dalam perayaan hari besar keagamaan, masyarakat yang toleran akan saling menghormati dan bahkan turut serta dalam kegembiraan umat agama lain. Inilah wujud nyata toleransi yang bukan hanya menjaga kerukunan, tetapi juga memperkuat persatuan.

Era Digital

Di era digital, menjaga akhlak dan toleransi menghadapi tantangan baru. Media sosial sering menjadi ladang subur bagi ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi. Anonimitas di dunia maya membuat sebagian orang merasa bebas melontarkan kata-kata kasar tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Namun, teknologi juga bisa menjadi sarana untuk menebarkan kebaikan. Banyak gerakan positif yang digaungkan melalui media sosial, seperti kampanye anti-bullying, promosi keberagaman, dan ajakan untuk saling membantu. Kuncinya adalah bagaimana kita memanfaatkan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.

Pendidikan

Masyarakat yang berakhlak dan toleran tidak terbentuk dalam semalam. Dibutuhkan proses pendidikan yang berkelanjutan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anak. Orang tua berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai akhlak dan toleransi sejak dini.

Sekolah dapat menjadi tempat yang mengajarkan pentingnya toleransi melalui kurikulum yang inklusif dan pembelajaran yang menekankan nilai-nilai kebhinekaan.

Halaman
12

Berita Terkini