Di tengah dunia yang bergerak cepat, warung ini adalah pengingat bahwa kesederhanaan bisa bertahan.
Juga bahwa dalam semangkuk es campur, seseorang bisa menemukan pulang entah pada kenangan, pada rasa, atau pada dirinya sendiri.
Memori dalam Mangkok Putih
Sri Wahyuni. Dia mengingat dengan jelas masa sekolahnya di awal 90-an. Uang saku dia sisihkan hanya untuk bisa beli es campur dari tangan Pak Wawi sendiri.
“Dulu Rp750 dapat semangkuk kecil, yang besar Rp1.500. Sekarang Rp8 ribu sampai Rp11 ribuan, tapi rasanya masih sama. Itu yang bikin saya balik terus,” ujarnya.
Cerita lainnya juga datang dari Anggun, salah satu pelanggan tetap, mengenang masa mudanya yang penuh cinta pada semangkuk es campur.
“Dulu waktu masih pacaran, saya dan suami sering ke sini. Siang-siang, kepanasan, kita duduk di bangku ini, berbagi cerita, saling suapi es,” kenangnya sambil tertawa kecil.
Kini dia sudah menikah. Tapi setiap kali menyendok es dari mangkuk putih itu, dia merasa seperti kembali ke waktu dia pacaran.
“Dari dulu sampai sekarang rasanya tidak pernah berubah. Manisnya pas, segernya dapet, dan harganya juga masih ramah," katanya.
Meski harga yang murah dan terjangkau, Anggun menggunakan pembayaran dengan QRIS untuk memudahkan dirinya dan Saodah saat bertransaksi.
Tentu uang kembali menjadi sedikit sulit usai libur lebaran berakhir, karena tak jarang pembeli bertransaksi dengan uang berwarna biru dan merah muda.
"Tadi bayar pakai uang Rp100.000 ternyata tidak ada kembali, warung ada QRISnya jadi saya scan pakai BRImo. Terus masukin nominal Rp25ribu karena saya berdua sama suami terus nambah camilan juga," tuturnya sembari berjalan ke motornya yang terparkir tak jauh dari warung es. (Rad)