TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Kini di Tanjakan Silayur Semarang yang dikenal sebagai jalur maut justru dibangun sebuah sekolah.
Ini kata pengamat transportasi untuk meminimalisir kecelakaan.
Baca juga: Minimalisasi Kecelakaan, Pemkot bersama Polrestabes Semarang Dirikan Posko Terpadu di Silayur
Petugas gabungan melakukan operasi terhadap truk sumbu tiga di tanjakan Silayur Ngaliyan yang mengarah ke kawasan industri Bukit Semarang Baru (BSB) Mijen, Rabu (16/4/2025).
Operasi menyasar pada truk yang nekat melewati tanjakan Silayur saat jam larangan melintas yakni pada pukul 05.00-22.00 WIB.
Menurut Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno , operasi tersebut berujung sia-sia ketika tidak dilakukan secara konsisten.
Selain itu, butuh langkah mitigasi serius untuk mengatasi permasalahan angkutan berat di Silayur.
Baca juga: Petugas Beri Tindakan kepada Sopir yang Melintas di Jalur Silayur di Waktu Larangan
"Jam larangan melintas bagi kendaraan berat di Silayur kalau diterapkan secara konsisten bakal berdampak baik. Namun, larangan itu sudah lama ada tapi karena ada pembiaran truk bisa terus lewat," ujar Djoko saat dihubungi Tribun, Kamis (17/4/2025).
Truk berat yang melintasi tanjakan Silayur menjadi sorotan karena peristiwa kecelakaan dengan memakan korban jiwa beberapa kali terjadi.
Kejadian terakhir pada November 2024 lalu, ketika itu ada truk berat bermuatan aki dari kawasan BSB Mijen alami rem blong lalu menabrak pemotor dan deretan ruko hingga menyebabkan dua korban tewas di turunan Silayur.
Peristiwa ini sempat memicu aksi demontrasi yang dimotori oleh mahasiswa UIN Walisongo Semarang yang secara geografis kampusnya di lalui jalur ini.
Menurut mahasiswa, sebanyak 20 truk berat melintas di jalur tersebut per-harinya.
Djoko melanjutkan, agar kejadian kecelakaan akibat truk sumbu tiga tidak terulang kembali di Silayur perlu langkah mitigasi.
Langkah itu bisa berupa menghentikan izin pendirian pabrik di kawasan BSB.
"Jangan ditambah lagi industri baru di BSB. Kalau nambah lagi berarti membuat masalah baru lagi," ungkapnya.
Djoko memandang pesimis soal sodorkan solusi dari birokrat yang mengusulkan adanya pelandaian jalur Silayur seperti di Jalur Hanoman, Semarang Barat.
Menurut dia, langkah itu tidak realistis karena jalur Silayur sudah menjadi kawasan permukiman yang memiliki jalur sambungan ke perumahan warga.
"Lebih realistis adalah bikin jalur lingkar. Tapi wacana ini sudah berlangsung selama 10 tahun lalu yang tidak kunjung direalisasikan," bebernya.
Dampak aturan jam malam bagi kendaraan berat di Silayur, lanjut Djoko , kebijakan itu merugikan pula bagi perusahaan angkutan.
Sebab, perusahaan merugi jika harus beroperasi saat malam hari hanya mengirim satu rit muatan.
Namun, sambung dia, persoalan itu akan lebih kompleks karena berkaitan dengan regulasi bagi truk over dimension over loading (ODOL).
"Sayangnya, pemerintah tak jelas juntrungannya mengatur soal ODOL ini," katanya.
Kendati begitu, Djoko meminta kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menegakan aturan jam larangan melintas.
Hal itu dilakukan untuk mencegah timbulnya kecelakaan di jalur Silayur kembali terulang.
Terlebih di jalur itu kini malah dibangun SMP Negeri 16 Semarang yang berada persis di pinggir jalan.
"Pembangunan SMP N 16 di jalur itu sebenarnya keliru. Tapi mau gimana lagi, sekarang yang perlu dilakukan adalah membangun Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) untuk mencegah kecelakaan menimpa pelajar," ungkapnya.
Sebelumnya, Dinas Perhubungan Kota Semarang dan Satlantas Polrestabes Semarang melakukan penindakan truk sumbut tiga dan lebih yang melanggar larangan jam melintas di jalur Silayur Semarang.
"Ada lima truk ditilang," kata Kepala Sub Unit 2 Keamanan dan Keselamatan Satlantas Polrestabes Semarang Ipda Suyatno. (Iwn)