TRIBUNJATENG.COM, MATARAM -- Fenomena open BO (open booking) di kalangan pelajar menjadi perhatian serius Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram.
Dalam catatan terbaru, LPA menemukan setidaknya lima kasus pelajar terlibat open BO, dengan empat kasus sudah ditangani kepolisian.
Ironisnya, sebagian pelaku ternyata juga berstatus korban, memperlihatkan betapa kompleksnya persoalan ini.
Pelajar Terlibat Open BO: Pelaku, Korban, atau Keduanya?
Menurut Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, sebagian pelajar yang terlibat dalam kasus open BO memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis. “Kalau kita telusuri, ujung-ujungnya dari sisi keluarga juga sudah bermasalah,” jelas Joko.
Tahun sebelumnya, banyak pelajar terlibat sebagai LC (lady companion) atau pemandu karaoke. Meski terkesan hanya menemani minum, praktik ini menjadi pintu masuk ke arah prostitusi terselubung.
Namun tren tahun ini menunjukkan pergeseran ke arah yang lebih terbuka dan berbahaya—praktik prostitusi terang-terangan dalam bentuk open BO.
Gaya Hidup, Keluarga, dan Lingkaran Pertemanan
Joko menyoroti tiga faktor utama yang memicu tren open BO di kalangan pelajar:
Tuntutan gaya hidup yang tinggi dan tidak diimbangi dengan kemampuan ekonomi.
Kurangnya pengawasan dari orangtua, terutama dalam kasus anak korban perceraian atau yang ditinggalkan oleh orangtua.
Lingkaran pertemanan tertutup (bestie) yang menjadi medium penyebaran aktivitas open BO.
“Problem ini yang susah kita lacak karena mereka pakai jalur circle, kelompok pertemanan sesama bestie. Ini jalur yang tidak kasat mata,” ujar Joko.
Kasus Mengerikan: Kakak Kandung Jual Adik Sendiri
Salah satu kasus yang menyayat hati adalah seorang kakak yang menjual adik kandungnya yang baru berusia 14 tahun untuk open BO.