TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Dua mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang masing-masing Rafli Susanto dan Rezki Setia Budi telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyekapan anggota Intelijen Polda Jawa Tengah Brigadir Eka Romandona Febriyanto.
Dua mahasiswa ini dituding melakukan penyekapan, mengintimidasi hingga melakukan sejumlah tindakan penganiayaan.
Kapolrestabes Semarang Kombes Syahduddi menyebut, kedua mahasiswa tersebut dijerat pasal 333 ayat 1 KUHP subsider pasal 170 ayat 2 KUHP.
"Mereka telah melawan hukum dan merampas kemerdekaan seseorang serta melakukan kekerasan," ujar Kapolrestabes dalam konferensi pers di Mapolrestabes Semarang, Jumat (16/5/2025).
Baca juga: Isi Buku Harian Mendiang Dr Aulia Risma Mahasiswi PPDS Undip Semarang, Antar 3 Sosok Ini ke Tahanan
Aksi penyekapan anggota intel tersebut bermula saat aksi mahasiswa dalam peringatan hari buruh internasional atau May Day di depan kantor Gubernur Jawa Tengah Jalan Pahlawan, Kota Semarang, pada Kamis, 1 Mei 2025 lalu.
Ketika itu, para mahasiswa dipukul mundur oleh polisi menggunakan gas air mata, meriam air (water cannon) dan sejumlah pasukan taktis dari Brigade Mobil (Brimob).
Dalam kejadian ini, polisi menangkap pula sebanyak 18 mahasiswa.
Ratusan mahasiswa lainnya yang kewalahan lantas memilih mundur ke arah kampus Undip Pleburan.
Sewaktu mundur, mereka berpapasan dengan Intel Polda Jateng, Brigadir Eka Romandona Febriyanto yang sedang memfoto rombongan mahasiswa yang melarikan diri menuju area kampus Undip persisnya di depan kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Jalan Imam Bardjo, Pleburan.
"Ya ketika itu ada polisi (Brigadir Eka) yang melakukan pengamanan tertutup sedang melakukan pengambilan dokumentasi menggunakan handphone untuk merekam dua mahasiswa tersebut dan para temannya yang melakukan pengerusakan tong sampah fasilitas taman di sekitar depan Bank Indonesia," kata Syahduddi.
Para mahasiswa yang mengetahui hal itu lantas mendekati Brigadir Eka.
Mahasiswa sempat menanyainya apakah anggota polisi. Eka sempat menampik bahwa dirinya adalah polisi.
Namun, selepas dikerumuni mahasiswa, dia akhirnya mengakui sebagai polisi.
Brigadir Eka lantas dibawa ke dalam area kampus Undip Pleburan oleh para mahasiswanya.
Mereka saat itu menggunakan Brigadir Eka sebagai sebagai sandera.
Meraka meminta polisi membebaskan teman-teman mahasiswa yang ditangkap jika ingin Brigadir Eka dilepaskan.
Negoisasi antara mahasiswa dengan polisi sempat buntu. Kendati begitu, Brigadir Eka akhirnya dilepaskan selepas pihak rektorat kampus Undip turun tangan.
Syahduddi mengklaim, anggota polisi tersebut mendapatkan kekerasan berupa disulut rokok di punggung dan siram cairan tiner.
"Selepas polisi itu dilepas kami visum ke rumah sakit Samsoe Hidajat Semarang. Hasilnya, ada luka lecet di kepala, bahu, dada dan anggota gerak," paparnya.
Brigadir Eka lantas melaporkan kejadian itu pada Jumat, 2 Mei 2025. Kedua mahasiswa ini ditangkap di wilayah Tembalang pada Selasa,13 Mei 2025.
Menurut Syahduddi, penangkapan dua mahasiswa itu belum mengakhiri pencarian para mahasiswa lainnya.
Pihaknya kini masih memburu para mahasiswa lainnya. "Kami telah lakukan profiling, yang lain sedang kami kejar," terangnya.
Polisi mengklaim, penangkapan tersebut telah sesuai prosedur meskipun ada upaya paksa untuk menghindari para tersangka agar tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.
Mahasiswa Bisa Lapor Balik
Sementara, Pakar Hukum dari Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang Theo Adi Negoro mengungkapkan, penangkapan para mahasiswa terjadi pada 13 Mei dan proses pemeriksaan berlangsung dalam rentang waktu tidak lebih dari 1×24 jam sebelum diputuskan status hukum selanjutnya.
Hal ini dapat menimbulkan kecurigaan karena prosesnya yang terlalu cepat, meskipun memungkinkan prosedur batas waktu penahanan awal sesuai Pasal 19 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang penangkapan yang secara gamang memang terpenuhi.
"Namun, dalam kasus seperti ini, diperlukan transparansi dari pihak kepolisian," katanya kepada Tribun, Jumat (16/5/2025).
Dengan demikian, lanjut Theo, berdasarkan Pasal 77-87 KUHAP, para tersangka berhak mengajukan praperadilan dengan beberapa alasan di antaranya tidak pernah menerima Surat Perintah Penangkapan, tidak diberi tahu alasan penahanan, atau mengalami kekerasan oleh petugas saat penangkapan.
"Maka keabsahan prosedur formil tersebut dapat diuji di pengadilan melalui mekanisme praperadilan," ujarnya.
Selain soal penangkapan, Theo membeberkan para mahasiswa yang mendapatkan kekerasan oleh polisi bisa melaporkan balik termasuk para mahasiswa yang menjadi tersangka.
Theo menyebut, secara aturan hukum setiap orang yang mengalami kekerasan di tangan aparat berhak menempuh jalur hukum untuk mendapatkan keadilan dan ganti rugi.
Bahkan ketika yang bersangkutan juga menjadi tersangka dalam kasus pidana lain.
Dasar hukum paling relevan adalah Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan apabila pelaku adalah pejabat publik, dapat dipertimbangkan Pasal 424 dan Pasal 427 KUHAP terkait penyalahgunaan wewenang.
Pelaporan bisa langsung ke unit Propam Polri atau ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Pelaporan tentu perlu melengkapi berbagai bukti dan saksi.
Dalam praktiknya, kendala sering muncul pada tingkat bukti permulaan (Pasal 143 KUHAP) dan intimidasi lapangan.
Lepas dari itu, tidak ada ketentuan yang melarang tersangka pidana untuk sekaligus menjadi pelapor kekerasan yang dialaminya.
"Oleh karena itu, tersangka yang memegang rekam medis luka, saksi independen, atau bukti video amatir sangat dianjurkan untuk melaporkan balik dan menguji tindakan aparat melalui mekanisme peradilan pidana dan/atau praperadilan," jelasnya.
Peluang Penangguhan Penahanan
Theo melanjutkan, para mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka juga bisa mengajukan penangguhan penahahan.
KUHAP memberikan kesempatan bagi tersangka atau pihak keluarga untuk mengajukan penangguhan penahanan berdasarkan Pasal 31 sampai dengan 34 KUHAPidana.
Namun, tentunya memperhatikan beberapa syarat-syarat, seperti belum pernah dijatuhi hukuman berat, kondisi kesehatan tertentu, atau tidak dipandang berisiko melarikan diri, merusak barang bukti, atau memengaruhi saksi.
Prosedurnya dimulai dengan pengajuan permohonan kepada penyidik yang berwenang, yang kemudian akan mempertimbangkan faktor-faktor risiko tersebut.
"Jika penyidik menyetujui, permohonan akan diteruskan ke penuntut umum untuk penerbitan surat penangguhan penahanan," paparnya.
Dalam praktiknya, lanjut dia, institusi kampus seperti UNDIP dapat membantu mahasiswanya yang tertangkap atau keluarganya menyiapkan dokumen dan argumen pendukung seperti jaminan akademik, surat keterangan sehat, dan surat rekomendasi pembinaan.
Apabila penyidik menolak permohonan tanpa alasan yang jelas atau dirasa mengabaikan hak tersangka, upaya hukum dapat dilakukan melalui mekanisme praperadilan untuk menguji legalitas penahanan dan kelengkapan prosedur penangguhan.
"Jalur praperadilan tetap menjadi jalan hukum alternatif jika permohonan langsung diabaikan," terangnya.
Tepatkah Penerapan Pasal 333 dan 170 KUHP?
Theo menjelaskan, Pasal 333 KUHP secara tegas mengkriminalisasi perbuatan merampas kebebasan orang lain secara sengaja dan melawan hukum, sedangkan Pasal 170 KUHP mengatur larangan melakukan kekerasan bersama-sama di muka umum terhadap orang atau barang.
Dari beberapa asumsi yang terungkap di media masa dan keterangan dari pihak Polrestabes, korban diduga mengalami beberapa tindakan kekerasan seperti dicekik, diikat, dipaksa berada dalam ruang terbatas di kawasan kampus UNDIP Pleburan dan beberapa tindakan kekerasan lainnya.
Jika memang semua dugaan tersebut sudah memiliki bukti yang kuat, maka unsur perampasan kebebasan dan penganiayaan dapat secara bersama-sama terpenuhi.
Walaupun mahasiswa juga menjadi korban tindakan kekerasan polisi seperti gas air mata dan pukulan saat aksi demonstrasi.
Pada satu sisi, Doktrin pertanggungjawaban pidana individual menegaskan bahwa “hak membela diri” hanya berlaku dalam batas sempit dan hanya membenarkan kekerasan untuk menangkis serangan yang sedang berlangsung.
Di sisi lain, hal itu bukan sebagai pembenaran atas penyekapan dan siksaan lanjutan.
Oleh karena itu, kekerasan polisi tidak menghapus “unsur melawan hukum” dari dugaan perbuatan mahasiswa yang demikian, melainkan menjadi peristiwa terpisah yang dapat diperkarakan melalui bidang hukum pidana sendiri.
"Secara yuridis, penerapan Pasal 333 KUHP dan Pasal 170 KUHP terhadap kedua tersangka adalah tepat karena unsur-unsur formil dan materiil keduanya terpenuhi dengan syarat, bahas semua bukti dan unsur telah benar-benar memiliki alat bukti yang sah," ungkapnya. (Iwn)