Terdakwa Zara melakukan pertemuan online lewat zoom meeting dengan angkatan 77 yang mana terdapat korban Aulia Risma Lestari.
Zara menjelaskan pasal anestesi, larangan anestesi dan operan tugas anestesi seperti menyediakan transportasi mobil, menyediakan logistik di ruang bunker anestesi dan lainnya.
Terkait pasal-pasal anestesi bersifat dogmatis yang harus ditaati tanpa boleh dibantah.
Pasal itu meliputi senior selalu benar. Pasal 2 bila senior salah kembali ke pasal 1. Pasal 3 hanya ada kata Ya dan Siap. Jangan pernah mengeluh dan seterusnya.
Selain pasal anestesi, terdapat pula sistem kasta anestesi. Kasta itu mencakup tujuh tingkatan hirarki.
Ketujuh tingkat itu dimulai dari mahasiswa tingkat satu, kakak pembimbing (kambing) atau mahasiswa tingkat dua.
Kemudian middle senior yakni mahasiswa tingkat tiga-empat, senior atau mahasiswa tingkat lima, shift of shift atau mahasiswa tingkat 6-7.
Kasta paling tinggi yakni dewan suro atau mahasiswa tingkat 8 atau akhir, hingga dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).
Dalam sistem ini , terdakwa Zara bertindak sebagai kakak pembimbing atau kambing dari almarhum Aulia Risma.
"Sistem tingkatan atau kasta antartingkatan ini diberlakukan secara turun-temurun dan dikuatkan melalui doktrin internal yang dikenal sebagai pasal anestesi," papar Sandhy.
Para mahasiswa anestesi juga dibebankan untuk membayar jasa joki tugas senior yang telah menghabiskan uang hingga ratusan juta yang bersumber dari dana iuran para mahasiswa PPDS anestesi.
Tercatat oleh jaksa, ada kerugian materi sebesar Rp864 juta untuk biaya makan senior, jasa joki untuk tugas-tugas akademik senior.
Aulia Risma pernah mengeluhkan penggunaan uang tersebut kepada ibunya, tetapi tetap melakukan transaksi atas perintah seniornya yang mengintimidasi melalui pasal anestesi.
"Aturan itu secara nyata merupakan bentuk intimidasi psikologis dan ancaman terselubung," beber Sandhy.
Dia menyebutkan, terdakwa Zara pernah pula mengintimidasi dan menghukum dengan memakai ancaman psikologis dan kata-kata kasar.