TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Rachmat Utama Djangkar, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Semarang, menghadapi tuntutan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan.
Ia didakwa melakukan suap sebesar Rp1,7 miliar kepada mantan Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita), serta suaminya, Alwin Basri.
Suap tersebut diduga berkaitan dengan proyek pengadaan kursi untuk sekolah dasar (SD) yang bernilai sekitar Rp20 miliar dan berlangsung pada tahun 2023.
Rachmat yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa disebut memberikan uang demi meloloskan perusahaannya dalam tender proyek tersebut.
Jaksa penuntut umum dalam persidangan mengungkapkan bahwa pemberian uang dilakukan secara bertahap, dengan tujuan agar proyek pengadaan yang dibiayai oleh APBD Kota Semarang itu dimenangkan oleh perusahaan milik terdakwa.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rachmat Utama Djangkar dengan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan serta pidana denda sejumlah Rp200 juta," ungkap Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rio Vernika Putra dalam bacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Rabu (28/5/2025).
Rio mengatakan, terdakwa terbukti melakukan suap sebesar Rp 1,75 miliar kepada Mbak Ita dan Alwin Basri.
Tujuan suap agar PT Deka Sari Perkasa mendapatkan pekerjaan pengadaan kursi fabrikasi SD pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Kota Semarang tahun anggaran 2023 sebesar Rp 20 miliar.
Selain itu, berdasarkan fakta persidangan, terdakwa dengan niat jelas memberikan uang demi memenangkan proyek.
Perbuatan itu kemudian disebut sebagai bentuk tindak pidana korupsi yang secara nyata telah memenuhi seluruh unsur delik dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a.
"Menyatakan terdakwa Rachmat Utama Djangkar telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," paparnya.
Sebagaimana diberitakan, pelaksana tugas Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri yang juga Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan Februari 2025 lalu.
Keduanya ditangkap atas tiga pokok perkara meliputi pengaturan proyek penunjukan langsung (PL) pada tingkat kecamatan 2023.
Alwin diduga menerima uang sebesar Rp2 miliar dari proyek ini.
Dua kasus lainnya, pengadaan meja kursi fabrikasi SD di Dinas Pendidikan Kota Semarang pada 2023, kedua terdakwa diduga keduanya diduga menerima uang sebesar Rp1,7 miliar.
Perkara ketiga, permintaan uang ke Badan Pendapatan Daerah Kota Semarang. Mbak Ita dan suami diduga meminta uang sebesar Rp2,4 miliar. Kasus ini masih dalam tahap persidangan.
Sebelumnya, Sidang kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan pelaksana tugas Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu atau Mbak Ita dan suami Alwin Basri masih berkutat dalam mendengar keterangan sejumlah saksi dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Semarang.
Sidang sebelumnya menghadirkan saksi dari Gapensi Semarang.
Pada sidang kali ini, Senin (26/5/2025), saksi ada empat orang yang juga merupakan anggota dari Gapensi Semarang.
Keempat saksi yang dihadirkan meliputi Wakil Bendahara Gapensi Semarang Sapta Marnugraha.
Sisanya tiga anggota Gapensi meliputi Siswoyo, Febri dan Marwoto.
Persidangan tersebut berupaya menguak pengaturan setoran uang dan aliran uang dalam proyek penunjukan langsung (PL) tingkat kecamatan pada tahun anggaran 2023.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua, Gatot Sarwadi itu, saksi Sapta Marnugraha membantah telah memberikan uang commitment fee atau uang kontribusi proyek ke Alwin Basri suami dari Plt Wali Kota Semarang.
Keterangan dari Sapta ini bertentangan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebelumnya oleh penyidik.
"Seingat saya, saya tidak pernah mendengar uang itu untuk ke Pak Alwin. Saya hanya mendengar uang (porsi) 13 persen untuk bapak e," kata Sapta dalam persidangan yang dibuka untuk umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.
Hakim ketua sudah mengingatkan Sapta soal perbedaan keterangan ini.
Hakim menyebut, keterangan Sapta kontras. Sebab, Sapta dalam BAP menyebut telah menyerahkan uang fee ke Alwin tetapi dalam persidangan bersikap sebaliknya.
Hakim lantas mencecar siapa sosok bapak tersebut.
Sapta mengungkapkan, mendengar sosok Bapak e itu dari terdakwa dalam kasus yang sama yakni dari Martono, eks ketua Gapensi Semarang.
"Saya kurang tahu (sosok bapak ee) Cuma persepsi saya kalau untuk proyek Pemkot kalau ga Walikota ya pak Alwin," bebernya.
Kendati mengaku sudah menyetor sebesar Rp500 juta dari tiga proyek senilai Rp4,4 miliar, Sapta masih bersikukuh tidak mengetahui aliran uang tersebut.
Dia menegaskan, perbedaan keterangan sebelumnya dalam BAP semata-mata karena kondisinya saat diperiksa dulu dalam pikiran kosong.
"Waktu itu blank (pikiran kosong)," ungkapnya.
Dia menyebut, proyek senilai kurang lebih sebesar Rp4,4 miliar yang dikerjakannya meliputi untuk perbaikan jalan, gedung kelurahan, perbaikan saluran dan gedung Pendidikan Anak Usia Dini.
"Proyek di tiga kecamatan Mijen, Gunungpati dan Pedurungan," imbuhnya.
Para saksi lainnya senada dengan keterangan dari Sapta.
Mereka tidak tahu aliran uang fee tersebut untuk siapa.
Saksi lainnya, Sekretaris 2 Gapensi Semarang Siswoyo mengatakan, committmen fee diberikan sebelum mengerjakan proyek. Dia sendiri mengerjakan 12 paket proyek.
"Setoran fee total Rp318 juta dari saya dan tujuh anggota Gapensi lainnya," katanya dalam persidangan.
Siswoyo menyebut, tidak mengetahui aliran uang itu ke mana. Sebab ,ketua Gapensi Martono tidak uang tersebut untuk siapa.
"Pak Ketua (Martono) kalau sudah dapat duit ga pernah bilang buat siapa," bebernya.
Saksi lain, Febri dan Marwoto sama-sama mengakui menyetorkan uang fee proyek sebesar 13 persen dari nilai total proyek. Namun, tidak tahu aliran uang kemana.
"Saya kerjakan dua paket proyek senilai Rp160 juta, serahkan (uang fee) Rp20 juta," kata Febri.
"Setiap proyek pasti ada (uang) fee," sambung Marwoto.
Sebagaimana diberitakan, pelaksana tugas Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri yang juga Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan Februari 2025 lalu.
Keduanya ditangkap atas tiga pokok perkara meliputi pengaturan proyek penunjukan langsung (PL) pada tingkat kecamatan 2023.
Alwin diduga menerima uang sebesar Rp2 miliar dari proyek ini.
Dua kasus lainnya, pengadaan meja kursi fabrikasi SD di Dinas Pendidikan Kota Semarang pada 2023, kedua terdakwa diduga keduanya diduga menerima uang sebesar Rp1,7 miliar.
Perkara ketiga, permintaan uang ke Badan Pendapatan Daerah Kota Semarang.
Mbak Ita dan suami diduga meminta uang sebesar Rp2,4 miliar.
Kasus ini masih dalam tahap persidangan. (Iwn)