Ada Masjid Taqwa yang diyakini lebih tua dari Masjid Agung Demak, serta jejak Kiai Kamal, tokoh lokal yang masih disebut-sebut warga.
Rumah-rumah kayu tua bertahan di antara dinding semen dan kaca.
Seperti perlawanan diam terhadap arus yang terus menggusur.
Selain Sekayu, tiga kampung tua lain juga dihidupkan: Pecinan, Kauman, dan Kerapyak.
Setiap lokasi melewati proses kurasi yang teliti, mencari titik temu antara narasi sejarah, bentuk ruang, dan daya hidup masyarakatnya.
Cuaca menjadi tantangan, begitu pula manajemen tim yang besar.
Namun dengan dukungan Dana Indonesiana dari Kementerian Kebudayaan, dan kerja keras tim produksi, festival ini tetap bergulir dengan solid.
Tri menyebutkan bahwa target utamanya bukan sekadar menghibur.
Namun sebagai pematik untuk para kampung-kampung tersebut untuk menciptakan festival budaya.
“Kami ingin kampung-kampung ini termotivasi untuk bikin festival sendiri, mandiri, tiap tahun. Itu cita-cita yang sesungguhnya.” hadapnya.
Ketika Masyarakat Menjadi Pusat
Kebanggaan juga terpancar dari wajah Edy Haryoko, Ketua LPMK Sekayu, yang tak henti-hentinya bersyukur sepanjang festival.
“Saya bangga sekali, Ini bentuk nyata pelestarian budaya adi luhung kita.
Saya lihat para pemain bermain penuh jiwa, dan warga pun sangat menikmati," tutur Edy.
Bagi Edy, Sekayu memang telah lama merindukan momen semacam ini.