Kampung yang dulu menjadi pusat nilai-nilai tradisi kini seperti diberi nyawa kembali.
Warga Sekayu, dari Ketua RT hingga Karang Taruna, terlibat aktif. Tentu festival ini diharapkan menjadi agenda tahunan, dengan kolaborasi berbagai pihak.
“Dengan dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Balai Pelestarian Budaya, saya harap ini tak berhenti di satu malam saja," harap Edy.
Malam itu, Sekayu bukan hanya panggung. Namun menjadi menjadi tokoh utama.
Sebuah kampung yang mencoba bicara di antara gedung-gedung tinggi, mengingatkan kota bahwa sejarah tak bisa diganti dengan parkiran dan pusat perbelanjaan.
Festival Bubak Semarang bukan tentang nostalgia. Ia tentang masa kini yang sadar akan akarnya.
Tentang ruang sempit yang justru membuka pandangan luas.
Tentang warga kota yang mulai percaya bahwa budaya bukan barang museum melainkan napas sehari-hari. (Rad)