TRIBUNJATENG.COM - Di musim kemarau basah ini, masyarakat di pesisir Jawa Tengah diimbau tetap waspada banjir rob.
Bahkan banjir rob selama bulan Juli 2025 bisa mencapai ketinggian 1 meter.
Waktu banjir pun tak tentu, bisa menerjang pada pagi atau sore hari.
Baca juga: Karmini Bahagia Bawa Sampah Untuk Ditukarkan Sembako di Semarang Barat: Dapat Sop hingga Beras
Penyebab rob karena pasang maksimum air laut yang umumnya mencapai puncak pada pertengahan tahun.
Menurut Usman Efendi, Forecaster Stasiun BMKG Meteorologi Maritim Klas II Semarang menjelaskan, gelombang pasang laut berpotensi menyebabkan genangan di sejumlah wilayah pantai utara Jawa Tengah.
Puncak pasang ini diperkirakan terjadi pada tiga rentang waktu, yaitu:
- 4–5 Juli,
- 12–18 Juli, dan
- 23–30 Juli 2025.
"Untuk pasang maksimum, ketinggian air laut bisa mencapai 1 meter. Namun tinggi rob di daratan bisa berbeda-beda tergantung ketinggian tanah dan kondisi wilayah masing-masing," kata Usman saat diwawancarai, Rabu (3/7/2025).
Genangan Terjadi Pagi hingga Sore
Rob biasanya muncul pada pagi hingga sore hari, mengikuti pola pasang-surut harian.
Sejumlah daerah yang tergolong rawan terdampak meliputi kawasan pesisir Sayung dan Bonang (Demak), serta Pekalongan.
"Fenomena ini terjadi secara berulang tiap tahun, terutama di bulan Juli. Karena dipengaruhi gaya gravitasi bulan dan matahari, rob ini bukan hal baru tapi tetap harus diwaspadai," jelas Usman.
Yang menjadi perhatian tahun ini adalah frekuensi pasang yang meningkat.
Akibatnya, genangan rob bisa terasa lebih lama.
"Air laut belum sempat surut seluruhnya, tapi sudah pasang lagi. Jadi masyarakat merasa seperti rob-nya tidak pernah benar-benar surut," ungkapnya.
BMKG mengimbau masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir untuk lebih waspada dan selalu memantau informasi prakiraan pasang-surut laut dari sumber resmi.
"Masyarakat diharapkan mengatur waktu aktivitas, seperti menyelamatkan barang-barang atau menghindari rute yang rawan tergenang, dengan berpedoman pada prediksi waktu terjadinya rob," pungkas Usman.
7 Desa di Kendal Terdampak Rob
Sebanyak 7 desa dari 3 kecamatan di Kabupaten Kendal terdampak rob sejak awal tahun 2025.
Intensitas rob berangsur tinggi ketika memasuki pertengahan bulan Mei, dengan ketinggian bisa mencapai 50 - 60 sentimeter.
Data dari BPBD mencatat, 7 desa tersebut meliputi Desa Mororejo Kecamatan Kaliwungu, Desa Kartikajaya Kecamatan Patebon, Kelurahan Bandengan dan Karangsari, Kelurahan Balok, Kelurahan Banyutowo, serta Kelurahan Kalibuntu Wetan (Mbirusari) Kecamatan Kendal.
Di Desa Mororejo, terdapat 1.371 Kartu Keluarga (KK) terdampak rob. Jumlah itu lebih banyak dibanding Kelurahan Banyutowo yang mencapai 1.304 KK.
Populasi warga terdampak rob terbanyak berikutnya ialah Kelurahan Bandengan, yang membuat 1.280 KK di sana hidup berdampingan dengan gelombang rob.
Sedangkan 275 KK di Desa Kartikajaya Kecamatan Patebon juga terdampak rob, diikuti Kelurahan Karangsari sebanyak 160 KK yang aktivitasnya juga terhambat air rob.
Wilayah berikutnya yang terdampak rob ialah di Kelurahan Kalibuntu Wetan (Mbirusari) yang mencapai 104 KK.
Sementara itu, wilayah paling sedikit terdampak rob yakni di Kelurahan Balok dengan 31 KK yang rumahnya terendam air rob.
"Itu kejadian pas tanggal 21 - 23 Mei kemarin," kata Kasi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kendal, Iwan Sulistiyo, Kamis (3/7/2025).
Iwan menerangkan, saat ini air rob yang menerjang permukiman warga tak setinggi sewaktu bulan Mei.
Namun, gelombang rob masih terus merangsek masuk di tengah-tengah warga.
"Dikarenakan jarak pantai dengan pemukiman yang dekat. Kemudian adanya pendangkalan sungai, muara, dan saluran warga yang menuju ke sungai terhambat. Faktor tingginya abrasi juga berpengaruh," paparnya.
Iwan mengungkapkan, penurunan permukaan tanah juga menjadi salah satu penyebab rob di Kendal sulit surut.
"Penurunan permukaan tanah (land subsidence) diperkirakan 2 - 6 cm/tahun yang menyebabkan permukaan laut lebih tinggi dari permukaan tanah, sehingga ketika air surut tidak bisa sepenuhnya kembali ke laut," ungkapnya.
Solusi awal yang dilakukan BPBD Kendal ialah pemberian bantuan logistik dan non logistik ke warga terdampak.
Pihaknya juga akan mengusulkan pembatasan penggunaan air tanah untuk mencegah terjadinya eksploitasi.
"Penggunaan air tanah pada wilayah-wilayah tertentu harus dibatasi untuk mengurangi exploitasi air tanah, dan memperlambat proses penurunan permukaan tanah," sambungnya.
Di sisi lain, Bupati Kendal Dyah Kartika Permanasari mengatakan pihaknya akan memberikan bantuan logistik secara masif ke warga terdampak rob.
"Kita berikan bantuan logistik masif sesuai skala prioritas ke setiap desa terdampak. Karena untuk penanganan rob butuh jangka panjang, kemarin sudah kita sampaikan," tandasnya.
Gandeng Undip
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggandeng Undip merencanakan pembangunan Hybrid Sea Wall untuk mencegah rob dan banjir.
Terkait dengan proyek besar ini, Rektor Universitas Diponegoro, Suharnomo menegaskan bahwa inovasi Hybrid Sea Wall di pesisir Demak merupakan bukti komitmen Undip dalam menghadirkan solusi berbasis riset untuk menjawab persoalan strategis bangsa, khususnya terkait perubahan iklim dan krisis wilayah pesisir.
“Ini bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi langkah terpadu yang menggabungkan rekayasa teknik dan pendekatan ekologis secara partisipatif. Undip hadir tidak hanya untuk menciptakan ilmu, tetapi juga untuk memberikan dampak nyata bagi masyarakat, sebagai universitas yang bermartabat dan bermanfaat,” ujarnya.
Ketua Tim Pengendalian Banjir dan Rob dari LPPM Universitas Diponegoro yang juga pakar Coastal Engineering dan Disaster Mitigation, Denny Nugroho Sugianto menekankan pentingnya pendekatan hybrid dalam upaya pengendalian banjir rob di kawasan tersebut.
Denny menyampaikan pembangunan tanggul laut (sea wall) dapat mengandalkan pendekatan dengan dua model tanggul pesisir yakni inovasi super-struktur laut: Giant Sea Wall dan Hybrid Sea Wall.
Pada penjelasannya, Denny memfokuskan bagaimana kedua solusi tersebut menanggapi fenomena rob dan sedimentasi di wilayah pesisir, khususnya Sayung, Demak.
“Kedua konsep ini mempunyai tujuan yang hampir sama untuk melindungi atau memproteksi pantai dari serangan abrasi dan juga kemampuannya untuk melakukan pengendalian banjir pasang (rob), ” ungkapnya.
Untuk giant sea wall sendiri adalah konsep dengan struktur masif bertumpu pada kekuatan fisik menggunakan dinding beton besar dengan ketahanan tinggi terhadap gelombang ekstrem di mana efektif menahan air laut.
"Namun konstruksi besar ini menimbulkan biaya tinggi, waktu konstruksi lama, gangguan ekosistem pesisir, dan potensi pemindahan masalah ke daerah sekitarnya,” terang Denny.
Denny mengusulkan hybrid sea wall merupakan gabungan dari tanggul laut berbahan struktur keras (hard structure) dengan elemen ramah lingkungan (struktur lunak/ ekosistem alami) seperti restorasi mangrove dan pemulihan lahan intertidal.
Pendekatan ini diyakini lebih berkelanjutan karena menggabungkan ketahanan fisik dan fungsi ekologis.
Konsep hybrid sea wall yang akan digarap, merupakan langkah konkret kerja antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) dan Perguruan Tinggi (PT).
Inovasi hybrid sea wall yang dikedepankan Prof. Denny bukan sekadar tanggul, tapi strategi pemulihan ekosistem metode yang juga memulihkan akses tangkap nelayan, kualitas air, dan keberlangsungan ekonomi pesisir. Undip telah melakukan riset pada konsep tersebut sejak 2012, di Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak.
“Strategi tanggul hybrid ini memadukan rekayasa beton ringan (kelontong) dan pendekatan ekosistem mangrove, menyuguhkan solusi adaptif dan ramah lingkungan dalam menghadapi bencana banjir rob dan abrasi di Pantai Utara Jawa. Restorasi mangrove menjadi bagian penting dalam desain hybrid. Selain memperlambat energi gelombang laut, vegetasi pesisir juga mampu menahan sedimen dan membantu pembentukan daratan baru secara alami,” bebernya.
Denny menambahkan bahwa pembangunan struktur fisik semata tidak akan cukup apabila tidak dibarengi dengan pengelolaan kawasan dan tata ruang pesisir yang adaptif.
“Kalau kita hanya membangun struktur tanpa memperhatikan sistem drainase di daratan, atau tanpa mengatur pemanfaatan ruang di belakang tanggul, maka rob bisa saja masuk dari arah lain, atau air bisa tergenang karena tidak bisa keluar. Ini harus menjadi satu kesatuan sistem,” ujarnya.
Menurut Denny, proyek ini akan berhasil apabila dilakukan secara kolaboratif dan melibatkan masyarakat sejak awal.
Selain itu, diperlukan perencanaan jangka panjang dan dukungan lintas sektor, termasuk dari pemerintah pusat dan daerah.
“Yang paling penting adalah membangun kesadaran bersama. Karena rob dan penurunan muka tanah ini bukan hanya urusan teknis, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pesisir.
Harus ada perubahan cara pandang dan cara bertindak,” kata Prof. Denny yang telah berkecimpung lebih dari 20 tahun dalam kajian rekayasa pesisir.
Sebagai institusi pendidikan dan riset, Universitas Diponegoro aktif mendukung proyek ini melalui kajian ilmiah, pemetaan spasial, dan pemodelan numerik.
Undip Semarang juga terlibat dalam kegiatan edukasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah terdampak.
Di antaranya pemetaan wilayah dampak rob dan sedimentasi, pelibatan komunitas nelayan dan warga dalam desain dan pelaksanaan, serta Integrasi penelitian dan monitoring sebagai dasar pengendalian iklim pesisir.
Denny berharap model hybrid ini bisa menjadi blueprint nasional, mengutamakan sinergi ekologi-ekonomi. Ia menyampaikan jika dikelola bersama, kita bisa lindungi ekosistem pesisir sekaligus meningkatkan kesejahteraan nelayan. Penelitian ini sejalan dengan visi UNDIP sebagai universitas riset kelas dunia yang mengedepankan riset aplikatif berimbas sosial-lingkungan.
“Undip terus mendorong riset-riset yang aplikatif. Dalam proyek ini, kami mendukung dari sisi perencanaan teknis, simulasi dinamika pantai, hingga analisis risiko. Tujuannya bukan hanya membangun struktur, tapi juga membangun ketahanan masyarakat,” pungkas Prof. Denny.
Pembangunan Hybrid Sea Wall di Demak bukan hanya proyek infrastruktur, melainkan langkah strategis menuju tata kelola pesisir yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Inisiatif ini mencerminkan komitmen kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan bencana hidrometeorologi di masa depan.
Melalui inovasi Hybrid Sea Wall yang dikembangkan dengan pendekatan ekologis dan rekayasa cerdas, Universitas Diponegoro menunjukkan komitmennya sebagai perguruan tinggi yang tidak hanya unggul dalam riset, tetapi juga hadir sebagai solusi nyata bagi persoalan masyarakat.
Kolaborasi Undip bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini menjadi bukti bahwa kerja berbasis ilmu pengetahuan mampu memberikan dampak strategis dalam tata kelola pesisir yang berkelanjutan.
Dalam kesempatan terpisah, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Setiawan Wiyoko menyampaikan ada beberapa aspek yang wajib diperhatikan jika megaproyek ini jadi terlaksana.
Baca juga: Genangan Air Rob di Pesisir Utara Jawa Tengah Kok Susah Surutnya? Begini Jawaban BMKG
"Kalau dari sisi hukum tentu terkait dengan kebijakan tata ruang. Apakah Giant Sea Wall sudah ada di RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) baik jangka panjang atau menengah sehingga pembangunan itu bukan melulu untuk antisipasi banjir saja, melainkan juga melihat pada sisi dampaknya, seperti relokasi lahan bagi masyarakat terdampak harus mendapatkan ganti untung sesuai UU No. 2/2012 terkait Pengadaan Tanah: kewajiban kompensasi lahan, tempat tinggal, dan pemulihan ekonomi masyarakat pesisir," kata dia.
"Kedua, Kajian AMDAL sesuai dengan UU PPLH No. 32/2009 dan UU No. 26/2007 Tata Ruang wajib menjadi pijakan: keharusan AMDAL, KLHS, dan kesesuaian RTRW," terang dia.
Setiawan menilai, pada prinsipnya Giant Sea Wall suatu keharusan kebutuhan, baik untuk penanggulangan banjir maupun untuk wisata. (rad/ags/arl)