Dengan demikian, menurut Dr. Ash-Shiddiqy ekonomi syariah tidak hanya mengatur akad-akad teknis seperti murabahah atau ijarah, tetapi juga menanamkan prinsip amanah, kejujuran, dan keadilan dalam setiap transaksi. Pelaku usaha, perbankan, dan masyarakat digital seharusnya menjadikan etika sebagai pagar pertama sebelum terjebak dalam godaan manipulasi.
Karena itu, bank syariah dan lembaga keuangan Islam perlu mengambil posisi aktif dalam menghadapi kejahatan digital. Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain:
⦁ Mengembangkan sistem keamanan berbasis AI dan autentikasi ganda (MFA);
⦁ Mengintegrasikan edukasi syariah digital ke dalam layanan mobile banking;
⦁ Memastikan setiap fitur layanan memiliki sertifikasi syariah dan audit etika berkala;
⦁ Menjalin sinergi dengan otoritas seperti OJK dan Kominfo untuk perlindungan nasabah.
Dengan peran aktif tersebut, lembaga keuangan syariah tidak hanya membangun sistem yang bebas riba, tapi juga membentuk ekosistem keuangan digital yang etis dan bertanggung jawab.
Lebih jauh, kolaborasi antara regulasi positif dan etika syariah akan melahirkan pendekatan yang utuh dalam memberantas scam. Jika hanya mengandalkan sanksi hukum, efek jera tidak akan tercapai tanpa edukasi moral. Dan jika hanya mengandalkan edukasi tanpa penguatan teknologi dan sistem deteksi dini, maka masyarakat tetap akan menjadi korban.
Sebagaimana tujuan utama ekonomi Islam mewujudkan kemaslahatan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah) perang melawan kejahatan digital harus menjadi tanggung jawab bersama antara negara, industri, dan umat. Bukan sekadar soal teknologi, ini juga soal nilai.
Dengan mendorong edukasi berbasis nilai, memperkuat teknologi yang berlandaskan etika, serta menerapkan prinsip syariah dalam setiap lini layanan digital, Indonesia bukan hanya bisa melawan scam, tapi juga membangun keuangan digital yang bermartabat.