Sidang Korupsi Mbak Ita

Mbak Ita Berteriak "Merdeka" Sambil Menangis di Sidang Pledoi: Bantah 3 Dakwaan Korupsi

Penulis: iwan Arifianto
Editor: raka f pujangga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

USAP AIR MATA - Terdakwa kasus korupsi dan suap di lingkungan Pemerintah Kota Semarang Hevearita Gunaryati Rahayu atau Mbak Ita menangis saat membacakan nota pembelaan dalam sidang pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Rabu (6/8/2025) siang.

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Dua terdakwa kasus korupsi dan suap di lingkungan Pemerintah Kota Semarang Hevearita Gunaryati Rahayu atau Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri membacakan nota pembelaan dalam sidang pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Rabu (6/8/2025) siang.

Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Gatot Sarwadi itu, Ita mendapatkan giliran pertama untuk membacakan berkas pledoinya.

Sebelum membaca nota pembelaan, Ita sempat  berteriak merdeka.

"Merdeka," teriak Mbak Ita sembari mengepalkan tangan kanannya ke udara di ruangan sidang Cakra.

Baca juga: Kuasa Hukum Martono Terdakwa Korupsi Suap Mbak Ita dan Suami Tak Keberatan Sidang Vonis Ditunda

Selepas itu, Mbak Ita membacakan berkas pledoinya yang terdiri dari puluhan halaman itu dengan mengutip beberapa surat Al-Qur'an di antaranya surat Al Ahzab ayat 69 dan Al-A'raf ayat 16.

"Jadi itu yang menjadi pertimbangan saya sehingga saya bisa tetap berdiri tegak di setiap persidangan ini," kata Mbak Ita.

Ita menyebut pula sejumlah  petinggi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi kendaraan politiknya yang mengantarkan Ita menjadi Wali Kota Semarang.

Beberapa tokoh yang disebut adalah Ketua Umum  PDIP Megawati Soekarnoputri dan kader PDIP Hasto Kristiyanto.

Selepas itu, Ita lantas membacakan berkas awal halaman pledoi yang menyinggung soal latar belakang keluarga.

Dalam poin ini, ita menegaskan telah dididik sejak kecil secara mandiri.

Sebagai anak pertama dari lima bersaudara, Ita menyebut telah mandiri sejak kecil.

Oleh karena itu, meskipun sudah berkeluarga tidak pernah meminta nafkah materi kepada suaminya, Alwin Basri.

"Pengelolaan uang dari kami terpisah. Saya tidak pernah tahu rekening suami saya, PIN HP, bahkan uang yang dipegang atau disimpan suami karena ruang kerja selalu terkunci dan terkunci dibawa oleh suami karena latar belakang kehidupan saya dan suami berbeda," beber Ita.

Ita juga mengulik soal keberhasilannya menjadi wali kota dengan berbagai capaian seperti kemiskinan ekstrim yang mencapai 0 persen, penurunan stunting yang drastis, urban framing, ketahanan pangan, penanganan banjir dan rob hingga infrastruktur.

"Ada 60 penghargaan yang saya terima dari tahun 2023-2024 baik nasional dan internasional, bukan saya mau menepuk dada, tapi saya ingin menunjukkan pengabdian kepada negara," ucapnya.

Menangis Berulang Kali

Selama membacakan berkas pembelaan selama 1 jam penuh, Ita berulang kali menangis dan mengusap air mata. 

Dalam menutup pembelaannya, Ita membantah terhadap tiga dakwaan yang menyasarnya meliputi soal dakwaan proyek penunjukan langsung (PL), Ita menilai tidak menahu proses itu.

"Saya sebagai Walikota terlalu jauh struktur organisasinya dan juga camat sebagai pengguna anggaran. Apalagi saat itu yang mulia saya tidak mempunyai wakil Wali Kota sehingga banyak pekerjaan yang rumit di saat sisi lain banyak tugas-tugas yang harus saya selesaikan," tuturnya.

Kemudian soal dakwaan proyek fabrikasi meja kursi di Dinas Pendidikan, Ita juga mengaku tidak tahu menahu.

"Tidak ada satu pun arahan saya untuk mengurus kepada salah satu  vendor atau pihak ketiga," terangnya.

Dakwaan ketiga soal suap Iuran Kebersamaan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang, Ita menyebut tidak pernah meminta jatah dari iuran kebersamaan.

Ita  mengakui, menerima jatah uang itu.

Namun, ia ketika itu tidak tahu menahu sebagai wali kota yang baru menjabat.

"Kalau dalam bahasa jawanya saya tidak tahu Lor kidulnya (tahu seluk beluknya), intinya saya tidak meminta saya tidak memeras dari uang iuran kebersamaan," terangnya.

Menurut Ita, sejumlah dakwaan yang ditunjukkan kepada dirinya hanya asumsi saja.

"Saksi hanya bilang katanya-katanya saja, tidak ada perintah tertulis dari saya," bebernya.

Sebab itu, Ita meminta kepada Majelis Hakim memberikan keputusan secara seadil-adilnya.

"Kami meminta kepada Majelis Hakim memberikan putusan seadil-adilnya dan seringan-ringannya," pinta Ita.

Ketika berita ini ditulis, terdakwa  Alwin sedang membacakan pledoinya.

Pada persidangan sebelumnya, JPU menuntut terdakwa 1 Hevearita Gunaryati Rahayu dituntut selama 6 tahun penjara denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.

Sementara terdakwa dua Alwin Basri dituntut 8 tahun penjara denda Rp500 juta subsider kurungan penjara selama 6 bulan

Ita dan Alwin didakwa  melakukan pengaturan proyek penunjukan langsung (PL) pada tingkat kecamatan 2023.

Alwin diduga menerima uang suap sebesar Rp2 miliar dari ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Semarang Martono.

Dakwaan berikutnya berupa pengadaan meja kursi fabrikasi SD di Dinas Pendidikan Kota Semarang pada 2023, kedua terdakwa diduga keduanya diduga menerima uang sebesar Rp1,7 miliar.

Uang tersebut berasal dari Direktur Utama PT Deka Sari, Rachmat Utama Djangkar.

Martono dan Djangkar ikut pula dicocok oleh KPK dengan persidangan yang dilakukan terpisah.

Selain itu, jaksa merincikan pula terkait uang yang diterima oleh kedua terdakwa dari Kepala Bapenda Kota Semarang Indriyasari sebesar Rp1 miliar yang sudah dikembalikan oleh para terdakwa ke saksi dalam bentuk dolar Singapura.

Uang yang dikembalikan dari para terdakwa bersumber dari Iuran Kebersamaan yakni penyisihan uang dari pegawai Bapenda yang mendapatkan bonus upah pungut pajak setiap tiga bulan sekali.

Baca juga: BREAKING NEWS: Sidang Vonis Martono Kasus Suap Mbak Ita Ditunda, Ini Penyebabnya

Kedua terdakwa melanggar Pasal  Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dakwaan kedua, para terdakwa melanggar pidana yang diatur dalam Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dakwaan ketiga, para terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf f Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Iwn)

Berita Terkini