Pendataan dilakukan dari desa, dikirim ke kecamatan, lalu diteruskan ke PKBM sesuai plotting wilayah.
Persyaratan administrasi berupa ijazah SMP/sederajat yang dilegalisir dan Kartu Keluarga.
Setelah data masuk dan diinput, peserta langsung bisa mengikuti pembelajaran pada waktunya nanti. Diperkirakan SOOD akan dimulai pada September mendatang.
Targetnya, setiap desa minimal mengirim 20 peserta. Jadi satu kabupaten jika kuota terpenuhi dapat mencapai 5.300 peserta.
Saat ini, program hanya mencakup Paket C (setingkat SMA). Namun program ini diyakini jadi pintu gerbang besar bagi pendidikan alternatif.
"Yang hanya sampai SD dan SMP belum diberi ruang karena keterbatasan sumber daya," jelas Musofa.
Pembelajaran dilakukan terpusat via Zoom, dengan desa menyediakan fasilitas seperti LCD dan internet.
"Nanti bareng-bareng pembelajarannya seperti nobar, tapi kalau ini pembelajaran online-nya," ungkapnya.
Kegiatan belajar dijadwalkan 1-2 kali per minggu, menyesuaikan dengan waktu luang peserta yang mayoritas sudah bekerja.
Kurikulum formal akan dikombinasikan dengan materi yang sesuai kebutuhan orang dewasa agar tidak menjenuhkan.
Program ini gratis bagi peserta. Sementara pembiayaan teknis, termasuk tenaga input data dan pengajar, difasilitasi oleh pemerintah kabupaten.
"Kalau dihitung waktunya, malah jadi enggan belajar. Yang penting mulai dulu, tahu-tahu lulus," kata Musofa memberi semangat.
Bagi yang sudah lulus akan mendapat ijazah kesetaraan resmi yang bisa dipakai untuk melamar kerja, jadi perangkat desa, dan lainnya.
Dengan program ini, Musofa optimis pada tahun 2029 angka itu bisa naik menjadi minimal 9 tahun, atau setara lulus SMP.
"Gerakan ini bukan hanya soal angka, tapi soal mindset. Kalau ini jalan, angka rata-rata sekolah bisa naik, pola pikir juga ikut berubah," tandasnya.