Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Tribun Jateng Hari Ini

Gejolak Harga Komoditas Picu Lonjakan Inflasi Pangan, Permintaan untuk MBG Jadi Sorotan

Inflasi pangan perlu untuk terus diwaspadai, apalagi permintaan bahan pangan berkait dengan MBG pada 2026 akan melonjak.

Editor: Vito
Tribun Jateng/ Pingky Setiyo Anggraeni
ilustrasi komoditas pangan 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Gejolak harga sejumlah komoditas pangan dalam beberapa waktu terakhir memunculkan kewaspadaan terhadap peningkatan inflasi kelompok volatile food atau inflasi pangan.

Hal itu seperti terjadi pada Oktober 2025 mencapai 6,59 persen, terutama didorong peningkatan harga beberapa komoditas bahan pokok seperti cabai merah, dan telur ayam ras.

Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan Bank Permata, Faisal Rachman menilai, apabila melihat data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) terakhir, pada November 2025 hingga Jumat (14/11), inflasi pangan secara umum sudah mencatatkan deflasi.

“Namun, sebagian komoditas masih mencatatkan inflasi, seperti daging sapi, telur ayam, dan bawang merah. Tapi inflasinya jika dibanding bulan lalu sudah sangat mengecil,” katanya, Jumat (14/11).

Menurut dia, terdapat beberapa faktor yang membuat inflasi pangan cenderung persisten, seperti anomali cuaca, serta tingginya permintaan dari sisi pemenuhan makan bergizi gratis (MBG), dan permintaan musiman menjelang akhir tahun.

Ke depan, Faisal memperkirakan inflasi pangan perlu untuk terus diwaspadai, apalagi permintaan bahan pangan berkait dengan MBG pada 2026 akan melonjak.

“Kebijakan MBG harus diikuti kebijakan ketahanan pangan yang efektif pula, agar inflasi pangan dapat terus terjaga,” tukasnya.

Adapun, Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai, peningkatan inflasi pangan wajar terjadi pada periode musim hujan. 

Setelah masa panen berlalu dan musim hujan berlangsung, harga pangan cenderung merangkak naik, karena ada gangguan dari sisi suplai produksi serta kendala distribusi di lapangan.

Ia bahkan memperkirakan tingginya inflasi volatile food dapat berlangsung hingga Maret 2026. “Itu karena pada bulan tersebut ada Lebaran, terus juga bulan Februari 2026 ada bulan puasa (yang mendorong banyak permintaan-Red),” jelasnya.

Menurut dia, permintaan pada Januari 2026 juga cenderung meningkat akibat musim hujan, dan pada Desember 2025 terjadi puncak musim liburan akhir tahun. Meski demikian, ia menilai, inflasi secara umum untuk tahun depan masih relatif terjaga.

Ia memproyeksikan, inflasi tahun depan berada di kisaran 2,6 persen secara tahunan (year on year/yoy). Kondisi itupun dinilai tidak akan banyak mempengaruhi daya beli. 

Perbaikan daya beli

Myrdal menuturkan, daya beli masyarakat justru menunjukkan perbaikan, terutama pada pembelian barang tahan lama atau durable goods.

Ia menyebut, pembelian emas perhiasan justru menjadi satu pendorong utama inflasi Indonesia. Selain itu, penjualan sepeda motor mulai meningkat secara bertahap.

“Pembelian mobil pada Oktober 2025 juga tercatat naik cukup tinggi dibandingkan bulan sebelumnya, bahkan menjadi yang tertinggi secara bulanan sepanjang tahun 2025,” jelasnya.

Karena faktor-faktor tersebut bersifat musiman, Myrdal menyatakan, dampak inflasi pangan terhadap daya beli masih minim.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mewaspadai inflasi pangan yang sudah mulai meningkat beberapa waktu terakhir.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang inflasi terbesar pada Oktober 2025, dengan inflasi mencapai 6,59 persen yoy, dan andil sebesar 1,05 persen, didorong kenaikan harga cabai merah, beras, bawang merah, dan daging ayam ras.

“Kondisi ini memerlukan koordinasi lebih lanjut antara BI dan juga pemerintah pusat dan daerah,” tutur Perry.

Ia memperkirakan, pada 2026 inflasi secara keseluruhan masih akan terjaga rendah dalam sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen, baik karena terkendalinya inflasi inti, demikian juga ekspektasi inflasi yang terjangkar, dan juga inflasi impor yang terkendali.

“Tentu saja terkendalinya inflasi itu memerlukan koordinasi yang lebih erat di tim pengendalian inflasi, baik pusat, daerah, dan implementasi dari gerakan nasional pengendalian inflasi pangan,” tandasnya. (Kontan/Siti Masitoh)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved