Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Cilacap

Mengenal Ujungalang, Desa Penghasil Nipah yang Menyimpan Harapan di Pesisir Cilacap

Hampir sebagian besar warga setempat menggantungkan hidup dari usaha memproduksi lidi nipah yang kemudian dijual ke pengepul Jawa Barat

|
Penulis: Rayka Diah Setianingrum | Editor: muslimah
TribunJateng.com/Rayka Diah Setyaningrum
MENGOLAH NIPAH - Warga Desa Ujungalang, Kecamatan Kampung Laut, tampak tekun mengolah lidi dari pucuk pohon nipah yang baru dipanen untuk dijemur dan dijual ke pengepul. 

TRIBUNJATENG.COM, CILACAP - Tepian Segara Anakan, Desa Ujungalang di Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, menyimpan kisah tentang pohon nipah yang tumbuh subur di hutan mangrove.

Pohon yang dikenal hidup di kawasan rawa ini bukan sekadar penghias alam, melainkan sumber kehidupan bagi ratusan keluarga di pesisir.

Sekretaris Desa Ujungalang, Kustoro, menyebutkan, ada sekitar 4.600 hektare kawasan mangrove di Kampung Laut yang sebagian besar ditumbuhi nipah.

Menurutnya, yang paling bernilai dari pohon ini adalah bagian lidinya yang berwarna kuning dan bertekstur bagus sehingga banyak diminati pasar.

"Lidi nipah bahkan mampu menandingi kualitas lidi kelapa, sehingga permintaan dari luar negeri cukup besar," ujar Kustoro, Jumat (5/9/2025).

Baca juga: Isu Soto Berbahan Daging Manusia Gemparkan Wonosobo, Ini Curhat Pedagang: Kaget

Hasil produksi lidi nipah dari Ujungalang tidak hanya dipasarkan untuk kebutuhan dalam negeri, melainkan juga diekspor hingga ke India, Brasil, dan negara-negara Asia Tenggara.

Kustoro menuturkan, hampir sebagian besar warga setempat menggantungkan hidup dari usaha memproduksi lidi nipah yang kemudian dijual ke pengepul Jawa Barat.

Namun ia mengingatkan, dua tahun lalu sempat terjadi eksploitasi berlebihan yang membuat regenerasi pohon terganggu.

"Waktu itu harga lidi sempat tinggi sampai Rp6.500 per kilo, tapi sekarang turun di kisaran Rp4.500-Rp5.000," katanya.

Meski harga menurun, menurutnya kondisi ini memberi sisi positif karena pohon nipah punya waktu untuk bertunas kembali.

Dari 4.203 jiwa penduduk Desa Ujungalang, kini hanya sekitar 600 kepala keluarga yang masih mengandalkan lidi nipah sebagai sumber penghasilan utama.

Proses membuat lidi cukup sederhana, yakni memotong pucuk baru berbentuk tongkat, memisahkan batang muda, lalu dijemur hingga kering.

Kustoro menegaskan, meski tidak terlalu besar, hasil dari lidi nipah tetap menjadi penopang ekonomi warga saat hasil tangkapan ikan dan udang sedang menurun.

Ia berharap ke depan, lidi nipah bisa diolah lebih lanjut agar memiliki nilai tambah dan memberi peluang usaha baru bagi warga.

"Kalau digabung dengan potensi wisata mangrove, hasilnya bisa menjadi daya tarik dan memberi manfaat lebih luas," tambahnya.

Desa Ujungalang sendiri memiliki bentang mangrove dan nipah yang luasnya mencapai 50 kilometer persegi, sebuah potensi alam yang belum tergarap maksimal.

Sayangnya, keterbatasan modal, teknologi, dan pemasaran membuat hasil nipah belum mampu diolah menjadi produk unggulan desa.

Menurut Kustoro, setidaknya ada 60 petani nipah yang aktif, dan separuh di antaranya sudah merasakan peningkatan pendapatan.

Namun ia menekankan, dukungan modal usaha, pelatihan, dan akses pasar lebih luas sangat diperlukan agar usaha nipah bisa berkembang.

Selain nipah, kawasan hutan mangrove di Ujungalang juga menyimpan peluang besar untuk dijadikan destinasi ekowisata.

"Kami berharap pemerintah daerah bisa ikut menata kawasan ini, sehingga Ujungalang berkembang sebagai desa wisata berbasis konservasi," ungkap Kustoro.

Ia menambahkan, kombinasi antara produksi nipah ramah lingkungan dengan pengembangan wisata mangrove dapat menjadikan Ujungalang sebagai desa hijau yang berdaya saing.

"Potensi kami besar, tapi perlu dukungan dari banyak pihak, baik pemerintah maupun swasta," tuturnya.

Bagi sebagian warga, seperti Manisah, nipah adalah penyelamat ekonomi keluarga sejak awal 2000-an.

Ia mengaku beralih dari melaut ke memanen pucuk nipah karena faktor usia dan kondisi fisik yang tak lagi kuat menahan dinginnya laut.

"Sejak 2004 saya mulai cari nipah untuk kebutuhan sehari-hari, hasilnya lumayan bisa untuk makan," kata Manisah.

Dalam seminggu, ia bisa meraup Rp150 ribu hingga Rp200 ribu dari menjual lidi nipah yang dijemur hingga kering.

Dengan perahu kecil, ia membawa hasil panenan dari hutan ke rumah, kemudian memilah lidi dan menjemurnya dua sampai tiga hari.

Namun pekerjaan itu tidak selalu mudah, sebab cuaca dan pasang surut air laut sering menjadi tantangan tersendiri.

Saat rob datang, halaman rumah terendam sehingga lidi tidak bisa dijemur dengan baik dan seringkali berjamur.

"Tantangannya kalau air pasang siang hari, jemuran gagal kering dan akhirnya tidak laku dijual," keluhnya sambil menyerut lidi.

Kisah Manisah adalah potret sederhana dari bagaimana nipah menjadi denyut nadi kehidupan warga Ujungalang.

Di tengah keterbatasan, pohon nipah tetap berdiri sebagai sumber harapan, sekaligus peluang masa depan bagi desa pesisir ini. (ray)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved