Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kisah Suwardi, Pria Demak Pilih Mengasingkan Diri di Pemakaman Sejak 2006: Dulu Hidup Normal

Kisah Suwardi (76), pria yang putuskan mengasingkan diri di Pemakaman Tuan Marekan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Demak

Penulis: Msi | Editor: muslimah
KOMPAS.COM/NUR ZAIDI
Suwardi (76), saat duduk di cungkup makam menyerupai gubuk di Pemakaman Tuan Marekan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jumat (21/11/2025). Di tempat tersebut, Suwardi tinggal selama 19 tahun. 

TRIBUNJATENG.COM, DEMAK – Kisah Suwardi (76), pria yang putuskan mengasingkan diri di Pemakaman Tuan Marekan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. 

Keputusan tersebut dia buat pada tahun 2006 karena satu alasan.

Saat itu menurutnya, hidupnya memang tengah berantakan,

Di makam, Suwardi mengaku hidup tenang jauh dari bising duniawi.

Baca juga: Viral Warga Poncoharjo Demak Tanam Pohon Pisang Karena Jalan Rusak, Kades: Mereka Tidak Sabar

“Tenang, tidak kemrungsung,” ujar Suwardi, Jumat (21/11/2025) sore.

Hari mulai gelap. Suwardi duduk santai sambil menghisap lintingan tembakau di pintu gubuk seng ukuran 1,5 meter persegi.

Tatapannya tenang memandang Kali Jajar di tepi makam, seolah menikmati waktu yang terus mengalir.

Sejak selesai membersihkan makam dan memasak, ia duduk di kursi papan yang juga menjadi tempat tidurnya.

“Saya setiap hari di sini, tidur juga di sini,” ujarnya.

Tempat itu hanya cukup untuk satu orang karena di dalamnya juga terdapat kijing Tuan Marekan, tokoh yang namanya diabadikan untuk pemakaman tersebut.

Alasan Mengasingkan Diri

Warga Desa Cabean itu bercerita, hidupnya dulu normal: punya istri, anak, dan rumah kontrak.

Ia bekerja sebagai tukang becak dan kuli bangunan. Namun setelah istrinya meninggal pada 2003, hidupnya berantakan.

Puncaknya pada 2006, ia putus asa dan memilih tinggal di makam.

“Tahun 2003 istri saya meninggal, tahun 2006 saya frustasi. Anak jauh di Pacitan, terus tidak bisa ngontrak,” tuturnya.

Ia sempat tinggal bersama menantu dan anak perempuannya, tetapi tidak menemukan ketenangan.

Meski begitu, setiap Idul Fitri anaknya tetap datang ke makam untuk bersilaturahmi. “Ya ke sini setahun sekali pas Idul Fitri,” katanya.

Suwardi tetap menjaga hubungan dengan keluarga besar. Bila ada hajatan, ia dijemput saudara untuk ikut membantu.

Hidup dari Pemberian Peziarah

Selama tinggal di makam, kebutuhan makan-minum ia penuhi dari pemberian peziarah setiap Kamis sore—hari yang paling ramai peziarah.

Ia tidak pernah meminta, dan tidak memasang kotak amal.

“Dari orang ziarah pas Kamis, ada yang 5.000, ada 3.000. Tidak minta,” ungkapnya.

Setiap Kamis ia bisa mengumpulkan sekitar Rp 100.000 untuk membeli beras dan kebutuhan lain yang ia masak sendiri.

“Seratus, seratus dua lima… kadang kurang. Kalau buat jajan tidak cukup, makanya saya masak,” ujarnya.

Keseharian Suwardi adalah membersihkan makam atas inisiatif sendiri. Jika ada warga meninggal, ia mendapatkan sebungkus nasi.

“Yang gali sudah ada sendiri, saya dikasih nasi sebungkus,” katanya.

Pasrah, Tinggal Menjalani Sisa Usia

Suwardi menyerahkan sepenuhnya hari-hari yang tersisa kepada Tuhan.

“Saya tidak punya harapan (ke manusia). Mati hidup di sini pasrah. Nanti kalau saya mati di sini juga ada yang mengurus,” ujarnya. 

Ia menutup percakapan dengan renungan tentang hubungan manusia. “Ayam di sini, di luar saudara ya bisa musuh. Teman malah bisa jadi saudara,” tutup Suwardi. (Kompas.com)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved