Bullying
Pakar Psikologi SCU Soroti Bullying Marak di Sekolah dan Kampus, Ini Batasan Bercanda dan Bully
Kasus bullying di lingkungan sekolah marak terjadi. Simak batasan bercanda dan bully serta tips menghindarinya.
Pakar Psikologi SCU Soroti Bullying Marak di Sekolah dan Kampus, Ini Batasan Bercanda dan Bully
Ringkasan Berita:Prof. Dr. Christin Wibhowo, M.Si., Psikolog, pakar psikologi dari Soegijapranata Catholic University, menyoroti kasus bullying yang belakangan marak terjadi di lingkungan sekolah. Simak batasan antara bercanda dan bullying hingga tips pencegahan agar tidak menjadi pelaku/korban.
TRIBUNJATENG.COM - Kasus bullying di sekolah masih menjadi ancaman serius bagi pelajar di Jawa Tengah.
Sejumlah kasus muncul berulang dalam tiga tahun terakhir dan beberapa di antaranya berujung pada kekerasan fisik, trauma psikologis, hingga kematian.
Fenomena ini menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan belum sepenuhnya aman bagi perkembangan anak dan remaja.
Baca juga: Raisa Resmi Gugat Cerai Hamish Daud, PA Jaksel: Didaftarkan Online 22 Oktober, Sidang 3 November
• Segini Kekayaan Guntur Pamungkas, Anggota DPRD Blitar Viral: Utang Rp 700 Juta di LHKPN
Baca juga: Kisah Gina Anak Pemulung yang Putus Sekolah karena Dibully di Lampung
Meski pendataan kasus bullying di sekolah belum terintegrasi, situasi ini menggambarkan tren kekerasan terhadap anak yang cukup tinggi.
Pada tahun 2021, laporan mencatat 204 kasus kekerasan fisik terhadap anak usia 0–18 tahun dan 327 kasus kekerasan psikis.
Pada 2022 hingga 2023, pemerintah provinsi kembali menerima laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak dari berbagai daerah di Jawa Tengah.
Salah satu kasus yang mendapat perhatian publik adalah perundungan di Grobogan yang menyebabkan seorang siswa meninggal dunia.
Pakar psikologi dari Soegijapranata Catholic University (SCU), Prof. Dr. Christin Wibhowo, M.Si., Psikolog, menilai peningkatan kasus perundungan bukan sepenuhnya karena meningkatnya kejadian, tetapi karena kasus kini lebih mudah terekspos.
Ia menegaskan bahwa bullying bukan fenomena baru, namun pola penyebarannya berubah akibat dampak media sosial.
"Bullying itu dulu juga ada, tetapi tidak viral seperti sekarang. Sekarang setiap kejadian cepat sekali menyebar di media sosial dan itu memicu orang lain meniru perilaku yang sama," kata Prof. Christin.
Ia menjelaskan bahwa sekolah menjadi lokasi paling sering munculnya bullying karena anak dan remaja menghabiskan sebagian besar waktu di sana.
Namun ia menolak jika beban masalah sepenuhnya diarahkan kepada pihak sekolah.
"Bullying banyak terjadi di sekolah karena waktu anak banyak dihabiskan di sekolah. Tapi bukan berarti sekolah yang salah. Sekolah memang fokus pada akademis. Yang kurang adalah keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan pengelolaan emosi," jelasnya.
Menurut Prof. Christin, banyak anak yang cerdas secara akademik namun tidak mampu memahami perasaan sendiri ataupun orang lain.
Kondisi ini membuat mereka sulit berkomunikasi sehat dan rentan melakukan tindak perundungan, baik sebagai pelaku maupun korban.
Perbedaan Bercanda dan Bullying
Prof. Christin menjelaskan bahwa banyak orang tua salah paham dengan istilah bullying sehingga setiap kejadian kecil dianggap perundungan.
Ia menegaskan bahwa bullying memiliki ciri jelas, yaitu adanya pengulangan dan ketimpangan kekuatan antara pelaku dan korban.
"Kalau hanya sekali itu namanya nakal atau goda-godaan. Bullying terjadi kalau dilakukan berulang-ulang dan membuat orang lain tidak nyaman," ujarnya.
Menurutnya, bercanda dan bullying dapat dibedakan dari reaksi kedua belah pihak.
"Bercanda itu tertawa bersama. Kalau hanya satu pihak yang tertawa sementara yang lain tertekan, itu bukan bercanda lagi."
Pelaku dan Korban Punya Pola Psikologis yang Sama
Dalam sejumlah kasus yang ia tangani, Prof. Christin menemukan fakta menarik bahwa pelaku dan korban bullying sebenarnya punya masalah yang sama, yaitu ketidakmampuan memvalidasi diri dan rendahnya kepercayaan diri.
"Pelaku dan korban sama-sama minder dan sama-sama ingin diakui. Bedanya, pelaku bersikap agresif untuk terlihat kuat, sedangkan korban menjadi pasif dan menarik diri," ungkapnya.
Karena itu, ia menilai penyelesaian bullying tidak bisa hanya menghukum pelaku, tetapi harus membangun kemandirian dan prestasi pada kedua belah pihak.
Solusi: Asah Emosi dan Prestasi
Prof. Christin menekankan bahwa penanganan bullying tidak cukup hanya melalui pendekatan hukuman.
Anak perlu dibimbing untuk mengenali emosi, bersikap asertif, dan membangun rasa percaya diri melalui prestasi.
"Guru dan orang tua jangan fokus pada kelemahan anak. Fokuslah pada potensi. Kalau anak suka olahraga, dukung dulu di situ. Ketika anak punya prestasi, ia punya posisi sosial yang kuat dan tidak mudah menjadi korban bullying," jelasnya.
Menurutnya, anak boleh berbeda dalam prestasi, tetapi sebaiknya tidak menampilkan perilaku yang membuatnya terisolasi sosial.
"Prinsipnya begini: unik itu boleh, aneh jangan. Anak boleh juara kelas, tapi tetap harus bergaul. Kalau teman-teman ke kantin, ya ikut. Jangan membuat diri sendiri terpisah dari kelompok," tegasnya. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.