Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Industri Hasil Tembakau

Dari Ladang ke Pabrik, Tembakau Jadi Nadi Ekonomi

Matahari belum tinggi ketika Khoirul (29), petani asal Desa Kedunggading, Kecamatan Ringinarum.

Penulis: budi susanto | Editor: rival al manaf
(TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO)
LADANG TEMBAKAU - Khoirul (29), petani tembakau asal Desa Kedunggading, Kecamatan Ringinarum, Kabupaten Kendal, Jateng memeriksa daun tambakau di ladangnya, Kamis (2/10/2025). Khoirul satu di antara petani yang bergantung pada geliat Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai penopang hidup. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Matahari belum tinggi ketika Khoirul (29), petani asal Desa Kedunggading, Kecamatan Ringinarum, Kabupaten Kendal, Jateng sudah turun ke ladang tembakaunya. 

Dengan telaten, ia menyiram tanaman dan memeriksa setiap helai daun, memastikan tak ada ulat yang merusak hasil panen yang menjadi penopang utama keluarganya.

“Kalau ada ulat, bisa habis semua daun. Jadi harus teliti,” ujarnya sambil mengusap peluh, Kamis (2/10/2025).

Rutinitas itu dijalani Khoirul dan ratusan petani lain sejak awal masa tanam. Menjelang panen, yang biasanya berlangsung Agustus hingga November, kesibukan mereka semakin meningkat. Tembakau bukan sekadar tanaman musiman, tetapi sumber kehidupan.

Baca juga: 5 Syarat Dapat Bantuan Modal Usaha Rp6 Juta dari Program PENA Kemensos

Baca juga: BPS Kendal Kenalkan Sistem Baru Pemusatan Data, Akses Jauh Lebih Mudah 

Ringinarum merupakan sentra tembakau terbesar di Kendal, dengan luas lahan mencapai 1.051 hektare dan produksi lebih dari 350 ton per tahun. 

Sekitar 70 persen hasil panen terserap sebagai bahan baku industri hasil tembakau (IHT), termasuk ke pabrik rokok di Kudus seperti Nojorono.

Harga tembakau yang terus membaik juga menjadi harapan tersendiri. Jika sebelumnya hanya Rp 40 ribu per kilogram, tahun ini harga bisa tembus Rp 72 ribu. 

Dari hasil panen 25 keranjang atau sekitar 1,7 ton, Khoirul bisa membawa pulang Rp 126 juta setiap musim panen.

“Alhamdulillah, hasilnya cukup. Kalau tidak ada pabrik rokok, mungkin kami sudah lama berhenti menanam,” katanya.

Kisah Khoirul hanyalah satu potret kecil dari ribuan petani tembakau di Jateng. Data Disperindag Jateng mencatat ada lebih dari 131 ribu petani tembakau di provinsi ini pada 2024, dengan jumlah terbesar berada di Temanggung mencapai 43 ribu dan Boyolali 15 ribu orang.

Selain petani, ekosistem IHT juga menyerap 92 ribu tenaga kerja langsung. Terdapat 503 unit usaha IHT tersebar di 33 kabupaten/kota, dengan Kudus dengan 161 unit dan Jepara 118 unit sebagai pusat terbesar.

Tak heran jika IHT menjadi motor penting perekonomian Jateng. Berdasarkan data BPS kuartal III-2024, IHT menempati posisi kedua industri manufaktur Jateng dengan kontribusi 15,78 persen, hanya kalah dari industri makanan-minuman yang mencaapi 42,77 persen. 

Secara keseluruhan, industri manufaktur menyumbang 31,84 persen PDRB di Jateng. Kontribusi IHT tidak berhenti di sektor riil. 

Dari sisi fiskal, sektor ini memberi pemasukan besar melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Berdasarkan Pergub Jateng No. 1 Tahun 2024, alokasi DBHCHT bagi provinsi dan kabupaten/kota mencapai Rp 1,09 triliun. 

Dari jumlah itu, Rp 260,67 miliar masuk ke kas Pemprov Jateng. Dana tersebut digunakan untuk program kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan buruh pabrik dan petani tembakau.

Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) bahkan mencatat kontribusi cukai dari IHT di Jateng menyumbang lebih dari 10 persen total penerimaan pajak nasional pada 2024.

Gubernur Jateng Ahmad Luthfi menegaskan, industri tembakau masih menjadi sektor vital dan legitim yang menopang ekonomi daerah.

“Industri hasil tembakau adalah sektor yang vital. Ia bukan hanya menyokong perekonomian daerah, tapi juga penyokong bagi petani dan pekerja yang bergantung pada industri ini,” tegasnya beberapa waktu lalu.

Ia juga menekankan pentingnya distribusi DBHCHT tepat waktu serta pemberantasan rokok ilegal, agar petani dan pekerja IHT tidak dirugikan.

Kisah petani seperti Khoirul menggambarkan bagaimana industri hasil tembakau menjadi nadi ekonomi dari hulu hingga hilir. 

Dari ladang di Ringinarum, tembakau mengalir ke pabrik-pabrik di Kudus, Jepara, dan kota lainnya. 

Dari situ, ribuan pekerja memperoleh nafkah, dan kas daerah pun terisi lewat cukai.

Tembakau bukan sekadar daun kering di gudang. Ia adalah cerita hidup, kerja keras, dan denyut ekonomi Jateng.

Jejak Panjang IHT: Dari Kudus ke Peta Ekonomi Nasional

PENJEMURAN - Tanah lapang di wilayah Kabupaten Temanggung dijadikan lokasi para petani untuk menjemur hasil panen tembakau, Sabtu (27/9/2025).
PENJEMURAN - Tanah lapang di wilayah Kabupaten Temanggung dijadikan lokasi para petani untuk menjemur hasil panen tembakau, Sabtu (27/9/2025). ((TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO))

IHT menempati posisi strategis dalam perekonomian Indonesia, tak terkecuali di Jateng. 

Dari era kolonial hingga 2025, perannya tidak hanya terlihat dalam sektor penerimaan negara, tetapi juga dalam penyerapan tenaga kerja dan keberlangsungan petani.

Pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda menerapkan Cultuurstelsel. Tembakau, bersama tebu dan kopi, dijadikan tanaman wajib. 

Wilayah Jateng seperti Kendal, Temanggung, dan Vorstenlanden (Yogyakarta - Surakarta) tercatat sebagai sentra tembakau. Hal tersebut juga tercatat pada teks kolonial yang diarsipkan oleh Arsip Nasional, dalam Cultuurstelsel Jateng.

Sebagian besar hasilnya diekspor ke Eropa, sementara di pasar domestik, tembakau berkembang menjadi bahan dasar kretek yang lahir di Kudus.

Setelah 1945, kretek bertransformasi menjadi produk ekonomi rakyat. Menurut H. Soedarmo dalam Kretek: Sejarah dan Budaya terbitan 1956, industri kretek di Kudus berkembang pesat dengan basis padat karya. 

Ribuan buruh dilibatkan sebagai pelinting rokok, melahirkan citra sigaret kretek tangan (SKT) sebagai industri rakyat.

Perkembangan IHT semakin signifikan pada dekade 1970 - 1990-an. Perusahaan besar seperti Nojorono di Kudus, terus memperluas pasar. 

Laporan Kementerian Keuangan pada 1980 - 1995 menunjukkan cukai rokok menjadi salah satu penopang utama APBN, terutama saat harga minyak mentah dunia jatuh.

Pasca-Reformasi, regulasi industri diperkuat. Pada 2007, pemerintah meluncurkan DBHCHT. 

BPS Jateng pada 2008 mencatat dana ini digunakan untuk pembiayaan kesehatan, peningkatan kesejahteraan buruh, dan pengawasan rokok ilegal.

Program ini membantu ribuan pekerja industri dan petani melalui jaminan sosial berbasis DBHCHT.

Dalam dekade terakhir, peran IHT tetap dominan. Data Kementerian Keuangan 2022 menunjukkan penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp 214 triliun, atau 95 persen dari total penerimaan cukai nasional.

Sementara untuk wilayah Jateng, Kementerian Perindustrian mencatat pada 2023, lebih dari 1,5 juta orang bergantung pada sektor IHT, mencakup petani tembakau di hulu dan buruh pabrik kretek di hilir. 

Kudus, Temanggung, dan Kendal menjadi daerah dengan kontribusi besar. Namun, industri ini menghadapi sejumlah tekanan seperti kebijakan fiskal berupa kenaikan tarif cukai tahunan.

Tekanan global, seperti regulasi WHO-FCTC, hingga maraknya rokok ilegal, yang menekan serapan tembakau dan mengurangi penerimaan negara.

Menurut Edi Sujarwo pemerhati sejarah, jejak panjang IHT menjadi bukti bahwa tembakau bukan hanya komoditas, tetapi elemen penting perekonomian Indonesia, khususnya Jateng. 

"Dari sistem tanam paksa era kolonial hingga kebijakan fiskal modern, industri ini terus menjadi sumber penerimaan negara, penggerak ekonomi daerah, serta lapangan kerja bagi jutaan orang," terangnya, beberapa waktu lalu.

Nojorono Kudus, Penopang Ekonomi Rakyat dari Kretek

ALUR EKONOMI - Infografik dari ladang tembakau hingga peran Industri Hasil Tembakau (IHT) di Kudus sampai regulasi tentang kontribusi IHT dan fiskal.
ALUR EKONOMI - Infografik dari ladang tembakau hingga peran Industri Hasil Tembakau (IHT) di Kudus sampai regulasi tentang kontribusi IHT dan fiskal. ((TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO))

Nama Kudus tak bisa dilepaskan dari sejarah kretek. Di kota inilah sejumlah pabrik rokok berdiri, termasuk PT Nojorono Kudus yang hingga kini menjadi salah satu produsen kretek terbesar dan berpengaruh di Indonesia.

Didirikan pada 1932, Nojorono dikenal dengan merek legendaris Minak Djinggo serta produk populer Clas Mild. 

Selama lebih dari 90 tahun, perusahaan ini tidak hanya menghasilkan rokok, tetapi juga menghidupi ribuan keluarga di Kudus dan daerah sekitarnya.

Sebagai pabrik padat karya, Nojorono mempekerjakan ribuan buruh pelinting rokok, sebagian besar perempuan. 

Model produksi berbasis lintingan tangan membuat industri ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Kudus.

“Pekerjaan di pabrik rokok seperti Nojorono bukan sekadar mencari nafkah, tapi juga tradisi turun-temurun,” ujar Ari seorang pekerja linting di Kudus.

Nojorono tidak hanya menggerakkan ekonomi buruh, tetapi juga petani tembakau di Jawa Tengah. 

Setiap tahun, perusahaan ini menyerap hasil panen dari daerah penghasil tembakau utama, seperti Temanggung dan Kendal.

Skema kemitraan dengan petani membuat ribuan keluarga tani tetap bergantung pada serapan pabrikan. 

Petani menyebut, keberadaan Nojorono membantu menjaga stabilitas harga tembakau di tengah fluktuasi pasar.

Selain berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja, Nojorono juga menjadi penyetor cukai yang signifikan. 

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, perusahaan skala menengah seperti Nojorono secara agregat menyumbang lebih dari 10 persen penerimaan cukai Jateng.

Di sisi sosial, Nojorono memiliki program tanggung jawab sosial (CSR) di bidang pendidikan, kesehatan, serta seni budaya. 

Program tersebut memperkuat ikatan perusahaan dengan masyarakat Kudus sebagai kota kretek.

Meski demikian, industri hasil tembakau menghadapi sejumlah tantangan. Kenaikan tarif cukai tiap tahun dan maraknya rokok ilegal kerap menekan daya saing. 

Nojorono, bersama perusahaan lain, juga harus beradaptasi dengan perubahan regulasi nasional maupun internasional.

Hingga kini, Kudus tetap dikenal sebagai pusat industri kretek di Indonesia. Nojorono menjadi salah satu ikon yang menjaga warisan tersebut, sekaligus motor ekonomi lokal yang berkontribusi pada fiskal nasional.

 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved