UIN SAIZU Purwokerto
Pemuda Bergerak, Indonesia Berakar: Membaca Asta Protas sebagai Manifesto Kebudayaan
Berikut opini Prof. Dr. Kholid Mawardi, M.Hum, Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora UIN SAIZU Purwokerto.
Penulis: Laili Shofiyah | Editor: M Zainal Arifin
Oleh: Prof. Dr. Kholid Mawardi, M.Hum, Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora UIN SAIZU Purwokerto
TANGGAL 28 Oktober tak hanya milik sejarah. Ia adalah milik mereka yang berani melampaui sekat identitas untuk merumuskan kebangsaan sebagai cita-cita bersama. Sumpah Pemuda 1928 lahir dari keberanian kultural para pemuda lintas organisasi, agama, dan daerah, yang sepakat menjadikan “Indonesia” sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Ikrar itu bukan sekadar politik persatuan, melainkan juga tindakan kebudayaan karena menyatukan keragaman dalam satu ruang imajinasi kolektif adalah pekerjaan kebudayaan yang paling luhur.
Hampir seabad berlalu, dan kini kita hidup di tengah bentang zaman yang baru: era digital, iklim global yang genting, gejolak identitas, serta disrupsi sosial yang serba cepat.
Tapi pertanyaannya tetap sama: bagaimana kita menjaga agar Indonesia tetap satu tidak sekadar dalam simbol, tapi dalam keseharian? Dalam konteks inilah, kehadiran delapan program prioritas Kementerian Agama yang disebut Asta Protas patut dibaca bukan semata sebagai kebijakan administratif, melainkan sebagai manifesto kebudayaan yang memperluas makna persatuan di masa kini.
Kerukunan Sebagai Infrastruktur Budaya
Salah satu program utama Asta Protas adalah “Meningkatkan Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan.” Di sinilah Kemenag menempatkan moderasi beragama bukan sebagai jargon seremonial, tetapi sebagai infrastruktur kebudayaan.
Ketika Kantor Urusan Agama (KUA) dirancang menjadi ruang inklusif tempat semua umat diperlakukan setara maka negara tengah membangun kembali fondasi kultural: kepercayaan dan rasa aman dalam keberbedaan.
Kerukunan antarumat bukan sekadar target program kerja, melainkan prasyarat bagi ekosistem budaya yang sehat. Tanpa rasa percaya dan kehendak untuk berdamai dalam keberagaman, bangsa ini rentan diseret oleh banalitas intoleransi dan polarisasi identitas.
Dalam Asta Protas, kerukunan ditanamkan sejak bangku sekolah, lewat kurikulum yang mengajarkan cinta kemanusiaan lintas iman. Ini adalah proses kebudayaan yang lambat tapi dalam menumbuhkan manusia Indonesia yang tak hanya toleran, tapi juga empatik dan terbuka.
Baca juga: UIN Saizu Gelar Upacara Sumpah Pemuda ke-97, Rektor Ajak Sivitas Akademika Jaga Api Perjuangan
Pesantren, Ekoteologi, dan Akar Kebudayaan Baru
Ketika program pemberdayaan pesantren dimasukkan dalam Asta Protas, publik mungkin melihatnya sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan agama. Tapi lebih dari itu, pesantren adalah simpul kultural tempat nilai-nilai religius, etika kolektif, kearifan lokal, dan nasionalisme bertemu dalam bentuk yang organik.
Sejak zaman kolonial, pesantren sudah menjadi jantung kebudayaan perlawanan dan kemandirian. Kini, Kemenag mendorong pesantren tak hanya sebagai tempat belajar agama, tapi juga sebagai pusat ekonomi umat, pusat literasi digital, bahkan pusat diplomasi global dengan hadirnya program pesantren internasional.
Tak kalah penting adalah program ekoteologi gagasan bahwa ajaran agama bisa digerakkan untuk merawat bumi. Ketika calon pengantin diajak untuk “wakaf pohon” sebagai bagian dari syarat pernikahan, atau rumah ibadah dibangun dengan prinsip ramah lingkungan, maka negara sedang menanamkan kebudayaan ekologis baru.
Ini adalah nasionalisme ekologis yang menjadikan cinta tanah air bukan sekadar lirik lagu, tapi tindakan nyata melestarikan ruang hidup bersama.
Digitalisasi dan Akses Budaya
Transformasi digital di tubuh Kementerian Agama juga bukan hanya soal efisiensi birokrasi. Di era ketika layanan publik yang adil dan mudah diakses menjadi ukuran kepercayaan warga terhadap negara, digitalisasi adalah jembatan budaya baru.
Ketika umat dari pelosok bisa mengakses layanan KUA, beasiswa, hingga literasi kitab suci dalam format ramah disabilitas, negara sedang menciptakan ruang budaya yang setara.
Demokratisasi akses ini adalah bentuk baru dari kerja kebudayaan karena ia menciptakan rasa memiliki, rasa dihargai, dan rasa terhubung dengan sesama warga. Dalam ruang digital yang terlalu sering jadi tempat ujaran kebencian dan hoaks, hadirnya narasi keberagaman dan pelayanan berbasis nilai justru menjadi oasis kultural yang membangun.
Baca juga: Workshop Membatik UIN Saizu, Mahasiswa SPI Lestarikan Batik Banyumas sebagai Warisan Budaya
Pemuda sebagai Penggerak Kultural
Akhirnya, tak mungkin membicarakan kebudayaan tanpa melibatkan pemuda. Program-program Kemenag seperti Akademi Kepemimpinan Mahasiswa Nasional (Akminas) dan pelatihan dai muda lintas iman menempatkan pemuda sebagai aktor utama dalam membumikan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan gotong royong.
Di tangan para pemuda itulah semangat Sumpah Pemuda hari ini menemukan bentuk baru: bukan lagi melalui rapat organisasi di Jalan Kramat, tapi lewat kerja kolaboratif di desa, pesantren, media sosial, hingga forum lintas agama.
Mereka tidak hanya bergerak, tapi juga mengakar pada nilai, pada komunitas, pada sejarah bangsa. Dan ketika pemuda bergerak dengan kesadaran budaya, Indonesia pun tak hanya berjalan maju, tapi juga tumbuh kuat dari akar. (***)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.