Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Ekonom Undip: Dampak Kerusuhan dan Ketidakpercayaan Publik Bisa Tekan Rupiah Hingga Rp17.000

Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang FX Sugiyanto, menilai kerusuhan yang terjadi pasca aksi demonstrasi

|
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM/IWAN ARIFIANTO
PUKUL MUNDUR - Polisi berusaha memukul mundur massa aksi di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jumat (29/8/2025). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang FX Sugiyanto, menilai kerusuhan yang terjadi pasca aksi demonstrasi yang berujung pada skema pembakaran berpotensi menekan perekonomian nasional.

Ia menyebut, sentimen pasar sudah mulai terlihat dengan melemahnya rupiah serta penurunan harga saham.


“Untung peristiwanya terjadi Sabtu, sehingga dampak spontan di pasar keuangan tidak langsung terasa.

Namun tren penurunan saham kemungkinan masih akan berlanjut,” kata Sugiyanto saat dihubungi, Rabu (3/9/2025).


Menurutnya, risiko terbesar justru terletak pada jangka panjang. 


Kerusuhan dan aksi pembakaran fasilitas publik mencerminkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah maupun DPR. 


Bila ketidakpercayaan politik bertemu dengan ketidakpastian ekonomi, kata dia, dampaknya bisa semakin serius.


“Kalau ini tidak direspons dengan tepat, kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo bisa makin merosot.

Ekonomi akan terakselerasi dengan isu politik, terutama menyangkut lapangan pekerjaan dan buruh,” ujarnya.


Sugiyanto menilai, pemerintah harus segera menunjukkan sikap rendah hati, bahkan tak menutup kemungkinan perlu menyampaikan permintaan maaf kepada publik. 


Tindakan konkret, lanjutnya, lebih penting ketimbang sekadar narasi normatif.


Ia menegaskan, aksi kerusuhan yang dilabeli anarkis oleh pemerintah sejatinya merupakan bentuk kekecewaan masyarakat. 


“Saya tidak akan menggunakan kata anarkis. Itu narasi pemerintah. Ini lebih pada kekecewaan publik karena rendahnya trust,” ucapnya.


Dari sisi makro, Sugiyanto menyebut pelemahan rupiah masih mungkin terjadi hingga menembus Rp17.000 per dolar AS. 


Meski begitu, kondisi tersebut tidak akan separah krisis 1998 karena sistem keuangan saat ini lebih transparan dan rupiah sudah menganut sistem kurs mengambang.


“Kalau sampai Rp17.000 belum akan kolaps seperti 1998. Tapi tetap berbahaya bila kepercayaan publik makin merosot,” katanya.


Sugiyanto juga mengingatkan potensi dampak lanjutan berupa kenaikan harga barang hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). 


Pemerintah diminta untuk fokus memulihkan kepercayaan publik melalui transparansi, pemberantasan korupsi, dan efisiensi anggaran yang nyata.


“Efisiensi itu bukan sekadar mengurangi anggaran, tapi menggunakan anggaran secara benar.

Simbol konkret efisiensi adalah menangkap para koruptor dan mengadilinya,” tegasnya.


Menurut Sugiyanto, kegagalan pemerintah dalam merespons situasi ini bisa memperburuk iklim investasi. 


“Investor pasti melihat kerusuhan ini sebagai sinyal buruk.

Karena itu, pemerintah perlu memberi pernyataan yang lebih aspiratif kepada masyarakat,” tuturnya.


Pemerintah dinilai harus menanggung beban tambahan anggaran pasca kerusuhan yang mengakibatkan kerusakan sejumlah fasilitas publik dan swasta. 


Padahal, saat ini pemerintah sedang gencar melakukan efisiensi anggaran, mengingat biaya pemulihan tidak bisa dihindari karena kerusakan fasilitas publik menjadi tanggung jawab negara. 


“Kalau itu fasilitas publik, ya mau tidak mau dari APBN. Persoalannya, anggaran juga terbatas.

Kalau ini dibiarkan, beban APBN akan semakin berat,” ujarnya.


Ia menekankan, keluarnya anggaran ekstra di tengah efisiensi bisa memicu kontradiksi kebijakan. 


Pemerintah yang sebelumnya menekankan penghematan justru harus menggelontorkan dana lebih besar akibat ketidakstabilan politik.


“Efisiensi itu jangan dipahami sebagai pengurangan anggaran, tapi penggunaan anggaran secara benar.

Kalau hanya mengurangi tapi targetnya ikut turun, itu bukan efisiensi,” tegasnya.


Sugiyanto menilai, langkah paling mendesak bagi pemerintah adalah memulihkan kepercayaan publik. 


Tanpa kepercayaan, katanya, kebijakan efisiensi maupun program pemulihan ekonomi akan selalu dicurigai masyarakat.


“Simbol konkret efisiensi justru menangkap koruptor dan mengadilinya, bukan memangkas anggaran rakyat.

Kalau pemerintah tidak aspiratif, biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung bisa semakin tinggi,” jelasnya.


Ia memperingatkan, tambahan beban APBN ini berpotensi berdampak pada sektor lain, termasuk UMKM dan ekonomi mikro, karena pemerintah akan terdorong melakukan penghematan di pos yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.


“Dampaknya bisa merembet ke kenaikan harga, hingga PHK.

Semua ini bisa dihindari kalau pemerintah lebih terbuka dan mendengar aspirasi rakyat,” pungkasnya. (Rad)   

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved