Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Tribunjateng Hari ini

Ingatkan Ekosistem Pesisir Hancur, Walhi Jateng Kritik Hutan Dipandang sebagai Aset Finansial

Walhi Jawa Tengah merespons pelaksanaan Konferensi Iklim COP30 yang sedang berlangsung di Belem, Brasil.

Penulis: Moh Anhar | Editor: galih permadi
Tribunjateng/bramkusuma
Jateng Hari Ini Minggu 16 November 2025 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah merespons pelaksanaan Konferensi Iklim COP30 yang sedang berlangsung di Belem, Brasil.

Forum tahunan tingkat global tersebut dinilai akan berpengaruh dalam konteks lokal Jawa Tengah terutama soal eksistensi hutan mangrove yang berada di kawasan pantai Utara  (Pantura) Jawa.

"Pantura semakin tenggelam akibat ekosistem pesisir hancur, salah satunya hutan magrove.  Di sisi lain, mangrove yang termasuk sebagai kawasan hutan tropis justru menjadi komoditas di pasar global yang dibahas dalam forum COP30," kata Direktur Walhi Jateng, Fahmi Sebastian, dalam konferensi pers respon COP30 di Kota Semarang, Sabtu (15/11/2025) sore.

Fahmi menegaskan, COP30 memiliki korelasi dengan kawasan Pantura Jawa Tengah. Dalam forum itu dibahas skema Tropical Forest Forever Facilty (TFFF), yakni skema pembiayaan hutan tropis, termasuk hutan mangrove di COP30 yang diklaim mendukung pelestarian hutan.

Namun, skema TFFF bermasalah karena melihat hutan sebagai aset finansial, bukan ruang hidup rakyat.

Skema itu juga berpotensi menormalisasi perampasan ruang hidup masyarakat adat dan lokal.

KRISIS IKLIM -  Ratusan warga Semarang melakukan aksi Semarang Climate Strike atau aksi Jeda Untuk Iklim 2025, di Jalan Pahlawan, Jumat (14/11/2025). 
KRISIS IKLIM -  Ratusan warga Semarang melakukan aksi Semarang Climate Strike atau aksi Jeda Untuk Iklim 2025, di Jalan Pahlawan, Jumat (14/11/2025).  (Walhi Jateng)

Negara yang terlibat bisa terjebak pada ketergantungan terhadap investor.

"Dalam dokumen RTRW Jawa Tengah tahun 2024-2044, kawasan ini memiliki luasan magrove eksisting mencapai 12.684 hektare. Jadi, kawasan ini harus dilindungi dari praktik komodifikasi dan skema palsu COP30 seperti skema TFFF," paparnya.

Ia menyarankan, kawasan hutan mangrove yang tersisa di Jawa Tengah masuk sebagai kawasan No-Go Zone (NGZ) yaitu sebuah kawasan yang tidak dapat dialihfungsikan sebagai kawasan industri ekstraktif.

Selanjutnya, pemerintah harus merevisi kebijakan tata ruang dan regulasi mangrove yang melemahkan perlindungan ekosistem.

Terutama untuk pemerintah provinsi Jawa Tengah terkait Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Tengah Nomor 24 tahun 2019 terkait ekosistem mangrove yang hanya mengatur pengelolaan kawasan tanpa mekanisme monitoring, pengawasan kerusakan dan tanpa sanksi yang kuat.

"Selanjutnya perlu menjalankan perlindungan dan pemulihan mangrove berbasis keadilan ekologis dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya. Tak perlu bikin program dulu seperti mageri segoro dengan menanam 1,9 juta bibit mangrove, cukup mengimplementasikan program yang sudah ditetapkan yakni restorasi kawasan magrove," ungkapnya.

Menurut Fahmi, ketika negara abai terhadap hal itu maka ancaman pesisir Jawa Tengah tenggelam semakin nyata.

Berbagai riset menyebutkan, tiga daerah pantai Utara  Jawa Tengah, meliputi Kota Pekalongan, kota Semarang dan Kabupaten Demak diprediksi akan lebih cepat tenggelam pada tahun 2035.

"Pemerintah harus segera melihat ulang, sebenarnya kawasan ini apakah masih mampu menanggung beban infrastruktur dan perlu meninjau ulang konteks fungsi lahan dan ekologi," tandasnya. (Iwan Arifianto)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved