Tanoto Foundation
Cerita Fadil, Siswa SD yang Mahir Berimajinasi Tulis Kota Lama Semarang Berkat Rutinitas Gajah Keris
Program Gajah Mungkur 3 Kreatif Menulis (Gajah Keris) telah mengasah siswa untuk terus berpikir kreatif dan kritis melalui karya tulis.
Penulis: Raf | Editor: raka f pujangga
“Gajah Keris: Inovasi Literasi dari Sekolah Dasar untuk Masa Depan Pendidikan Indonesia” - Bagian 2
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Program Gajah Mungkur 3 Kreatif Menulis (Gajah Keris) telah mengasah siswa untuk terus berpikir kreatif dan kritis melalui karya tulis.
Setiap Rabu pagi, seluruh siswa diminta untuk menuliskan sebuah topik atau tema bermuatan konten lokal Semarangan.
Satu di antaranya Yoan Ilham Fadhil Abbiyo (11), siswa kelas 6 SDN 3 Gajahmungkur Semarang yang telah menekuni program Gajah Keris itu sejak kelas 4 SD.
Baca juga: Sosok Dian Marta: Pencetus Program Gajah Keris, Inovasi Literasi Dari SDN 3 Gajahmungkur Semarang
Dia memiliki buku khusus Gajah Keris untuk menuliskan setiap kali program tersebut dilaksanakan selama kurang lebih 30 menit.
Menurut Fadil, program Gajah Keris itu membuatnya bisa berpikir secara kritis bahkan mengeksplorasi pikirannya lebih luas dalam sebuah tulisan.
Meskipun hal itu tidak mudah bagi Fadil, namun dia terus berupaya keras membuat tulisan yang optimal.
Beberapa topik yang pernah dibuat, di antaranya adalah menuliskan tentang liburan di sekolah.
“Pernah disuruh buat tulisan tentang liburan sekolah kemana saja. Terus saya ceritakan lewat tulisan,” kata Fadil yang sudah 2 tahun belajar menulis lewat program Gajah Keris, belum lama ini.
Awalnya program Gajah Keris itu dimulai, diakuinya sempat membuatnya kebingungan mau menulis dimulai darimana.
Namun, pembiasaan menulis itu kini membuatnya semakin mudah.
“Susahnya itu harus mengarang, mau nulis apa. Tapi sekarang sudah biasa,” kata warga RT 5 RW 2, Gajahmungkur, Kota Semarang tersebut.
Kesulitan yang saat ini masih kendala adalah membuat tulisan tentang topik yang belum pernah dialaminya sendiri, misalnya topik tentang tempat wisata lokal Kota Lama Semarang.
Hal itu membuatnya perlu imajinasi ke tempat wisata tersebut karena belum pernah berkunjung ke sana.
“Waktu itu pernah disuruh buat tulisan Kota Lama Semarang, karena saya belum pernah jadi saya ngarang saja. Susah, tapi selesai juga,” ujarnya.
Saat Tribunjateng.com berkunjung ke sekolah tersebut, kebetulan bertepatan dengan momentum Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 2025.
Para siswa diminta untuk menuliskan tentang apa itu Sumpah Pemuda.
Satu di antara siswa yang menulis adalah Adara kairana putri (11) kelas 5, yang menulis tentang Hari Sumpah Pemuda.
“Sumpah pemuda diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Sumpah Pemuda. 1. Kami putra putri indonesia bertumpah darah satu tanah air Indonesia. Kami putra putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia,” penggalan tulisan Adara.
Dengan luwes, Adara mahir menuliskan kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang cukup mudah dipahami di tengah usianya yang masih belia.
Menambah Perbendaharaan Kata
Setelah program Gajah Keris ini dibuat sejak 2023, ternyata sudah banyak berdampak pada siswa di sekolah tersebut.
Setiap guru memantau langsung perkembangan siswa dari awal program tersebut hingga kini.
Lewat topik-topik konten yang disesuaikan dengan kebutuhan.
“Misalnya hari ini ada Sumpah Pemuda. Anak-anak diminta menuliskan tentang Hari Sumpah Pemuda. Misalnya Hari Pahlawan nanti mereka diminta untuk menuliskan tentang pahlawan Indonesia,” kata Shanti Cahyani guru kelas 4 SDN 3 Gajahmungkur Semarang.
Manfaat untuk siswa dengan adanya program Gajah Keris ini menambah perbendaharaan kata. Anak-anak yang semula kesulita mencari kata yang sesuai untuk menyusun sebuah kalimat.
Semakin lama membuat mereka menjadi terbiasa dalam membuat sebuah kalimat.
“Awalnya ana-anak ini perbendaharaan sedikit. Tapi karena terbiasa, dari yang tidak bisa menjadi bisa,” ujarnya.
Selain itu, ada tulisan anak yang dibuat tidak sesuai dengan ejaan yang disesuaikan (EYD).
Misalnya penggunaan kata izin yang seharusnya tapi masih banyak yang menggunakan kata “ijin” dalam menulis.
“Seharusnya yang benar ‘izin’ bukan ‘ijin’. Jadi sekarang anak-anak tahu yang benar,” ujarnya.
Kemudian dalam implementasinya yang semua siswa menulis dalam waktu yang cukup lama. Sebagian anak kini juga sudah bisa menulis cepat karena waktu yang diberikan juga terbatas hanya 30 menit.
Setiap anak tidak diberi nilai dari setiap hasil tulisannya, karena mereka mempunyai kompetensi yang berbeda-beda.
Potensi tulisan yang bagus, akan didorong untuk mengikuti lomba karya tulis cerpen.
“Kompetensi mana yang baik berbakat menulis kita dorong buat lomba. Yang masih kurang belum bisa menulis kita sabar dan minta teman-teman untuk saling memahami,” ujar pendidik yang pernah meraih Juara 3 Guru Inovatif dan Dedikatif 2024.
Shanti pun tak pernah kekurangan ide untuk menciptakan ide lokal untuk bahan topik siswanya menulis. Mulai dari tempat wisata, makanan daerah khas Semarang dan lain sebagainya.
Hal itu pun sekaligus untuk membantu anak dalam mengenalkan makanan khas dan membedakannya.
“Jangan-jangan mereka tidak tahu mana bedanya lumpia dan risol. Makanya kami perlu juga mengenalkan meskipun mereka belum pernah makan, setidaknya bisa kita kasih gambaran,” ujarnya.
Termasuk soal tempat wisata, yang belum pernah dikunjungi sekalipun anak-anak tetap bisa menuliskannya dengan cara imajinasi ke tempat tersebut.
“Misalnya di Semarang itu ada Museum Ronggowarsito mereka tidak tahu. Tetapi setidak mereka tahu apa saja yang tipersiapkan dan konteksnya,” katanya.
Menurutnya sampai sekarang masih ada siswa kelas 4 yang masih belum bisa menulis. Namun hal itu juga tak lepas dari kondisi keluarga yang dinilai kurang mendukung.
Sehingga peran orang tua untuk mendampingi anak di sekolah sangat penting untuk mencapai keberhasilan prestasi siswa di sekolah.
“Ada murid saya yang sampai sekarang belum bisa menulis, karena di sini ikut saudara. Sedangkan ayah dan ibunya di luar Jawa. Sehingga tidak ada yang mendampingi anak itu belajar,” katanya.
Peran Orang Tua
Anis Setyawati (40), orang tua dari Yoan Ilham Fadhil Abbiyo, mengaku merasakan perubahan positif pada putranya sejak mengikuti program Gajah Keris.
Menurutnya, Yoan kini lebih bertanggung jawab, mandiri, serta mampu mengingat tugas-tugas sekolah dengan lebih baik.
Setiap kali mendapat tema tulisa, sering kali berkaitan tentang kegiatan selama liburan atau topik lokal Semarangan.
Sehingga Yoan terbiasa mencari referensi terlebih dahulu, bahkan membaca lewat Google untuk memperkaya wawasan.
Kebiasaan itu membuat kosakatanya bertambah, termasuk memahami istilah-istilah yang sebelumnya tidak ia ketahui.
Baca juga: Rebut Apresiasi Rp100 Juta! Tanoto Foundation Ajak Jurnalis Ikut Beasiswa Liputan Pendidikan
“Pernah waktu itu saya lupa ditanya istilah kata yang jarang dipakai, tapi dia sudah penasaran ingin tahu maksud dari kata tersebut,” ujarnya.
Anis juga menilai pendampingan orang tua tetap penting, terutama saat anak membutuhkan ide atau arahan sebelum mulai menulis.
“Harapannya, anak bisa menyiapkan diri lebih dulu di rumah supaya saat di sekolah tinggal menuangkan ide dengan lebih terarah,” ujarnya. (*)
| Sosok Dian Marta: Pencetus Program Gajah Keris, Inovasi Literasi Dari SDN 3 Gajahmungkur Semarang |
|
|---|
| Beasiswa Liputan Pendidikan untuk Jurnalis Indonesia |
|
|---|
| Link dan Syarat Beasiswa TELADAN Tanoto Foundation bagi Mahasiswa Undip Semarang dan 9 Kampus Lain |
|
|---|
| Tanoto Foundation Cetak Aktor Pembangunan untuk Akselerasi SDM Indonesia |
|
|---|
| Math City Map, Senjata Rahasia Guru Kota Semarang Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251121_Gajah-Keris_1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.