Wonosobo Hebat
Wonosobo Garap Nilai Tambah Hortikultura Lewat Hilirisasi di Tengah Banyak Alih Fungsi Lahan
TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO - Bidang Hortikultura di Kabupaten Wonosobo menghadapi dinamika yang cukup kompleks.
Mulai dari alih fungsi lahan, tantangan cuaca, hingga persoalan pupuk subsidi.
Namun di sisi lain, pemerintah daerah masih melihat peluang besar untuk meningkatkan nilai tambah komoditas unggulan hortikultura di Wonosobo.
Baca juga: Pelayanan Inklusif, Kecamatan Kepil Wonosobo Jemput Bola Lakukan Perekaman KTP-el bagi Warga ODGJ
Kepala Bidang Perkebunan dan Hortikultura Dispaperkan Wonosobo, Sumanto, menyebut saat ini komoditas unggulan daerah meliputi cabai, kentang, bawang daun, serta aneka sayuran dataran tinggi lainnya.
“Untuk hortikultura kita ada cabai, kemudian kentang, lalu bawang daun. Produksinya relatif tinggi dan ketersediaannya selalu ada,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Hortikultura Wonosobo hampir seluruhnya tumbuh di dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata di atas 1.000 mdpl.
Daerah seperti Sapuran, Kepil bagian atas, Kretek, Kalikajar, Watumalang, hingga Mojotengah, Garung, dan Kejajar menjadi sentra utama.
Namun tidak semua komoditas tumbuh merata. Untuk cabai, misalnya, dua kecamatan paling dominan ialah Kalikajar dan Garung.
Sumanto mengakui tren alih fungsi lahan hortikultura ke sektor pariwisata meningkat, terutama di kawasan Kejajar-Dieng.
"Secara total kita belum tahu, tetapi kalau kita melihat kasat mata itu di daerah Kejajar, Telaga Menjer di bagian atas itu kan lahan hortikultura semua, itu sekarang sudah alih fungsi," ucapnya.
Ia menyebut, alih fungsi tersebut sulit dikendalikan karena menjadi ranah kebijakan lintas sektor. Menurutnya, fenomena ini dipengaruhi faktor ekonomi.
"Ya mungkin lebih menjanjikan di pariwisata dapat uangnya harian.
Kalau di hortikultura itu kan musiman, begitu musim tanam mengeluarkan duit dulu nanti baru kembalinya di musim panen.
Kalau di pariwisata setiap hari ada pengunjung sudah ada masukan terus," jelasnya.
Meski demikian, daerah pedalaman seperti Igirmranak hingga Parikesit masih mempertahankan fungsi lahannya sebagai lahan pertanian.
Meski alih fungsi lahan terus meningkat, sektor pariwisata dan pertanian tetap menjadi dua prioritas utama dalam visi-misi Wonosobo, yang menurut Sumanto justru saling berkaitan dan diharapkan dapat saling menguatkan.
Lebih lanjut disampaikan, secara umum, produksi hortikultura Wonosobo relatif stabil setiap tahun. Namun kemarau basah yang sempat terjadi menimbulkan kerusakan pada sejumlah komoditas salah satunya cabai.
Ia mengatakan produksi sempat turun tajam sehingga harga cabai di Wonosobo mencapai Rp58-60 ribu per kilogram, salah satu yang tertinggi di Jawa Tengah.
"Hukum permintaan dan penawaran berlaku ketat, tanaman rontok, petani memilih komoditas low-risk, dan pasokan menurun," ujarnya.
Keluhan lain datang dari petani terkait pupuk subsidi. Pemerintah setempat membatasi jatah pupuk subsidi bagi petani hortikultura sejak tahun 2020, dengan hanya memprioritaskan beberapa komoditas saja seperti cabai, bawang merah, dan bawang putih.
Aturan pembatasan komoditas penerima subsidi membuat biaya produksi semakin tinggi, ditambah sarana-prasarana yang juga masih harus ditanggung sendiri.
Menurut Sumanto, pemerintah daerah belum bisa memberikan support, termasuk fasilitas penyimpanan hasil panen yang juga belum ada, sehingga petani akhirnya tetap mengandalkan penjualan sayur segar.
Tahun ini, Dispaperkan mulai menyiapkan program peningkatan produksi dan hilirisasi dua komoditas kentang dan salak.
Untuk kentang, fokus diarahkan ke wilayah Kejajar, Dieng, Sembungan, Patak Banteng, Jojogan, dan satu desa lain dengan target 850 hektare. Program akan dimulai bulan depan dengan pelatihan teknis bagi petugas.
"Selama ini, kentang mayoritas dijual dalam bentuk segar tanpa grading. Petani kita masih karungan, tidak dipisah kelas A, B, C.
Dengan sentuhan pascapanen, seperti pengolahan menjadi keripik, pemerintah berharap nilai jual meningkat," jelasnya.
Sementara untuk salak, difokuskan di Watumalang dengan target 200 hektare. Pengolahan buah direncanakan menjadi strategi utama menghadapi persaingan ketika musim buah lain tiba.
"Selama ini salak di petani harganya seribu kan miris.
Baca juga: Desa Selomanik Wonosobo Kembangkan Agro Edu Wisata Kelapa Kopyor untuk Majukan Ekonomi Warga
Apalagi kalau bareng musim buah lain seperti durian atau duku, salak ini tersampingkan.
Makanya kita coba angkat dengan sentuhan pengolahan mudah-mudahan bisa," lanjutnya.
Program hilirisasi kentang dan salak ini diharapkan bisa berjalan lancar dan mampu mengubah potensi hortikultura Wonosobo menjadi kekuatan ekonomi bagi petani. (ima)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251114_Dispaperkan-Wonosobo-Sumanto_1.jpg)