Pengacara Bupati Klaten Nonaktif Sri Hartini Nilai Vonis Hakim Tidak Adil
Pengacara mengakui vonis yang dijatuhkan hakim lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa selama 12 tahun.
Penulis: rahdyan trijoko pamungkas | Editor: abduh imanulhaq
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Rahdyan Trijoko Pamungkas
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Penasihat hukum Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini menilai putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang bagi kliennya tidak adil.
Terdakwa suap dan gratifikasi itu dijatuhi hukuman penjara 11 tahun dan denda Rp 900 juta, Rabu (20/9/2017).
Pengacara Deddy Suwadi menyatakan keberatan atas putusan tersebut.
Dia menilai hakim tak mempertimbangkan yang telah disampaikan dalam persidangan.
"Fakta-fakta itu merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi selama ini (di Klaten)," ujar Deddy seusai sidang vonis.
Dia menegaskan kliennya tidak pernah punya niat jahat menghilangkan barang bukti atau menyembunyikan sesuatu.
Selama ini Sri Hartini terbuka memaparkan yang telah dilakukannya.
"Keluguan dan apa adanya yang dilakukan klien kami ini semestinya jadi bahan pertimbangan. Sesuai yang dikatakan Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) bahwa di seluruh Indonesia kasusnya sama terjadi," tuturnya.
Deddy kembali mengutip pleidoi bahwa dalam persidangan saksi mengaku mendengar ada rumor kliennya tak akan menjabat sampai setahun.
Hal ini disebabkan ada pihak-pihak yang ingin melengserkan terdakwa.
"Faktanya seperti itu. Ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi dan tradisi yang sudah terjadi di Klaten," terangnya.
Dia mengakui vonis yang dijatuhkan hakim lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa selama 12 tahun.
Namun, putusan tersebut dianggap tidak sebanding dengan rata-rata hukuman kasus serupa, di bawah 10 tahun.
" Jika hukuman ini dianggap peringatan hukuman bagi yang lain mungkin menerima. Biarlah terdakwa menjalani hukuman itu," katanya.
Pengacara lain, Yanto Siregar, mengatakan hukuman bagi kliennya ini sangat berat.
Sebab, ada tersangka lain dalam pengungkapan kasus tersebut.
"Sehingga ada perbuatan yang seharusnya menjadi pertanggungjawaban pihak lain, seolah-olah dibebankan kepada klien kami. Kami rasa tidak adil hukuman ini," terang Yanto. (*)