Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Liputan Khusus

Pengakuan Pengedar Obat Terlarang Semarang, Dari Setor Oknum Petugas hingga Pengambilan Barang

Seorang pria, sebut saja Bambang, sudah delapan tahun ini menggeluti bisnis obat-obat keras terlarang.

Humas Polres Banjarnegara
Ilustrasi 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Seorang pria, sebut saja Bambang, sudah delapan tahun ini menggeluti bisnis obat-obat keras terlarang.

Berbagai jenis produk dipasarkan secara bebas seperti trihex, hexysimer, zolam, hingga rexlona.

Kepada Tribun Jateng secara eksklusif ia bercerita, awalnya menggeluti bisnis tersebut karena faktor lingkungan.

Ia bekerja sebagai buruh sebuah pabrik di Jakarta bersama para pemakai obat-obat terlarang.

Dari sana, ia sedikit banyak mulai mengenal obat terlarang. Meski belum menjadi pengguna, Bambang sering mendengar informasi hingga akhirnya mengatahui tempat untuk membelinya.

"Diberitahu teman, di daerah Roxy (Jakarta-Red) ada pasar malam khusus yang menjual obat-obat terlarang, Saya kemudian main ke sana negosiasi langsung dengan penjual," ujarnya, baru-baru ini.

Bambang kemudian melihat peluang bisnis dari menjual obat terlarang. Setelah itu, ia mulai menjadi penghubung antara pencari obat dan penjual.

Konsumennya pada saat itu kebanyakan berasal dari Semarang karena memanfaatkan jaringan daerah asal.

Dalam seminggu, ia tiga kali pergi pulang Semarang-Jakarta untuk mendistribusikan barang. Moda transportasi yang digunakan adalah kereta api, karena dinilai lebih aman tanpa ada pemeriksaan ketat.

"Jika ada yang nyari barang saya carikan. Rata-rata per orang bisa ngambil 120 box yang per boxnya berisi 100 butir obat, itu untuk golongan kasaran (trihex, eksimer). Tapi kalau kategori alusan (zolam, hingga rexlona) minimal rata-rata ngambil 1 box berisi juga 100 butir," jelasnya.

Bambang menuturkan, penghasilan yang diperolehnya pada saat itu lebih banyak dibanding dengan saat ini.

Dulu, ia bisa meraih keuntungan Rp 4 juta dalam seminggu, tetapi sekarang untuk memperoleh Rp 1,5 juta per bulan saja cukup sulit.

Menurut dia, turunnya pendapatan yang diraih karena mulai banyak konsumen yang mengubah haluan.

Jika dulu cukup mengonsumsi obat, saat ini banyak yang beralih menjadi pengguna sabu-sabu.

"Sekarang ini lebih mudah nyari sabu daripada obat, karena konsumen sabu lebih merata dari berbagai tingkatan usia, baik remaja sampai dewasa. Selain itu, cukup dengan uang Rp 150 ribu sudah bisa dapat sabu," imbuhnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved