Liputan Khusus
Pengakuan Pengedar Obat Terlarang Semarang, Dari Setor Oknum Petugas hingga Pengambilan Barang
Seorang pria, sebut saja Bambang, sudah delapan tahun ini menggeluti bisnis obat-obat keras terlarang.
Konsumen yang mengambil barang dari Bambang semuanya pengedar atau pengecer. Sehingga, mereka rata-rata mengambil barang dalam jumlah besar. Ia enggan menjadi pengecer kepada siswa-siswa sekolahan karena risikonya yang dinilai tidak sebanding.
"Prinsip saya pokoknya ngambil barang dari Jakarta dapat harga murah sampai Semarang harus habis. Supaya nggak berisiko, naik kereta paling aman karena tidak ada pemeriksaan, baik kardus yang disamarkan dengan lakban, atau dimasukkan tas punggung biasa kayak orang kampung mudik," paparnya.
Masalah kejiwaan
Untuk menjaga kemanan dari petugas, biasanya Bambang menyiapkan surat kuning yang dibuat resmi dari Rumah Sakit Jiwa sebagai tanda dirinya mengalami masalah kejiwaan sehingga membutuhkan obat. Surat itu didapat dengan memanfaatkan petugas dalam rumah sakit.
Selain itu, untuk memuluskan aksinya, ia juga setiap bulan menyetorkan uang Rp 2,5 juta kepada oknum polisi.
Hanya saja, Bambang, enggan menyebutkan identitas petugas oknum polisi dimaksud.
"Kepada petugas rumah sakit jiwa, karena dia pengguna, jadi saya ngasih upah berupa barang 1-2 box. Kalau dengan polisi, dia adalah konsumen yang mengambil barang di saya, jadi aman dan tidak akan ditangkap. Tapi ya itu, kalau telat nyetor sehari saja, saya diburu dan diteror bakal menangkap saya beserta pembeli," imbuhnya.
Terkait dengan munculnya penjualan obat keras di media sosial, Bambang menduga hal itu karena susahnya mencari barang secara langsung sejak pasar malam yang di Jakarta ditutup tiga tahun lalu.
Pasar malam obat keras itu dulunya menjadi rujukan bandar/pengecer dari berbagai daerah di Indonesia. Sehingga, jalurnya berganti melalui media online, seperti facebook, atau twitter.
Hanya saja, menurut dia, resiko berjualan obat via online sangat besar, karena bisa saja pembeli atau penjual sebenarnya merupakan petugas yang menyamar.
"Kalau dipikir-pikir penjualan via online sebetulnya justru berisiko bagi pembeli maupun penjual. Pertama bisa saja penipuan, kualitas barang juga dipertanyakan, identitas serta kemanannya juga. Jika harus memilih penjual maupun pembeli obat, pasti lebih nyaman melakukan transaksi langsung," ucapnya.
Dari pantauan Tribun Jateng, terdapat grup publik di facebook yang secara terang-terangan menawarkan berbagai obat untuk mbledos (ngefly menggunakan obat). Namun, postingan interaktif terakhir yang terlihat adalah pada penghujung 2017.
Meski demikian, saat Tribun Jateng coba menghubungi beberapa akun yang ada, mereka masih aktif membalas pesan yang dilayangkan. Beberapa akun bahkan masih menyediakan beberapa jenis obat-obatan berbahaya.
"Cepuk adane bos, yang lain kosong," balas satu akun di Facebook.
Sementara, saat diminta menyediakan obat jenis heximer, akun lainnya mengaku tak punya. Menurut dia, saat ini heximer tergolong langka.